Bentuk kipas yang setengah lingkaran itu sangat unik. Dibentuk dengan citarasa seni yang indah. Ada beragam bahan yang digunakan. Ada yang dari aneka kain, kertas, bambu, sampai kayu cendana yang harum mewangi.
Kipas pada masa kerajaan digunakan sang permaisuri sebagai asesori pelengkap wibawa. Tujuannya tentu saja untuk mengipas wajah yang kepanasan. Lalu menjadi bagian kehidupan dunia modern. Juga untuk mengipas wajah dan tubuh yang kepanasan.
Kipas dalam bentuk tangan ini kemudian menjadi turun gengsinya manakala ia digunakan untuk memanasi sate yang dibakar dengan arang. Bisa sate kambing, sate sapi, sate ayam sampai kerang dan bahkan di Jawa sate siput.
Lalu dalam perkembangan teknologi modern, kipas masuk ke bagian elektronika yaitu kipas angin. Kenapa nama kipas angin? Karena yang dikipas memang angin. Sang angin dibuat bak puting beliung, bertiup dingin mendinginkan suhu udara yang panas. Gerakan angin yang kencang itu berhasil mendinginkan udara ruangan. Sejumlah orang dalam suatu ruangan terasa lebih sejuk terkena angin puting beliung sang kipas listrik itu.
Kipas angin listrik mahal harganya. Berkisar dari harga Rp250.000 sampai Rp500.000. Bandingkan dengan kipas tangan dari kipas sate yang cuma Rp5.000 sampai kipas ibu-ibu dan gadis yang Rp45.000. Kendati kipas angin listrik mahal harganya, peminat berani membelinya. Bukan demi gengsi tetapi demi mendinginkan udara, atau menyedot udara ruangan yang ber-AC. Tetapi kipas tangan yang dipakai kaum wanita tetap dibutuhkan.
Kini kipas tak semata bermakna mendinginkan udara, justru untuk memanasinya. Makin panas “udara” ciptaannya maka makin seru iklimnya. Makin tidak kondusif, makin bagus baginya. Pelakunya disebut “Tukang Kipas”. Tukang kipas berkonotasi lain dalam pengkayaan Bahasa Indonesia. Tukang kipas adalah jenis manusia yang suka memanas-manasi suasana. Mereka adalah para penghasut yang licin bagai belut.
Ketika suasana menjadi panas, lalu merekalah yang menangguk keuntungan, atau paling tidak bisa tertawa riang pun sudah cukup.
Maka kini. Di saat Aceh lagi melakukan konsolidasi diri membangun daerah, muncullah tukang kipas untuk memecah belah Aceh. Mereka akan menari-nari manakala upayanya berhasil. Tapi mereka akan membuat demonstrasi untuk kian memanasi suasana supaya kian panas. Dan bila tidak berhasil, tentu saja mereka akan mengipas lebih keras lagi. Atau mencaci maki ke sana kemari dengan pongahnya. Lalu dibawa-bawalah isu demokratisasi, otonomi dan lain-lain alasan.
Kipas yang mereka lakukan jelas bukan untuk mendinginkan suhu politik, tetapi membuat suhu udara politik kian memanas. Jadi ini namanya kipas panas. Kita rakyat biasa harus hati-hati menyikapi mereka yang seolah-olah membela rakyat tetapi yang jelas menguras keuangan negara untuk membangun kantor-kantor, gedung-gedung pemerintah serta berbagai prasarana dan sarana. Mereka tidak memikirkan bagaimana caranya membangun kesejahteraan rakyat. Yang penting kesejahteraan elit politiknya.
Nah, siapakah tukang kipas itu? Tentu Anda sudah tahu orangnya asal rajin membaca koran. Arsiteknya antara lain yang kalah dalam Pilkada Aceh Tenggara, sebagaimana diungkapkan Gubernur Irwandi Yusuf. Mungkin perlu pemeo baru, “Kejarlah Aceh, kau kutangkap.”[]