Kriet

Kata temannya, Jailani yang punya nama gaul “Je”, berasal dari kabupaten Pidie. Sehingga ketika Je tak memenuhi permintaan temannya yang juga berasal dari Pidie akan dikata, “nyo that awak Pidie!” Kemudian ketika antara Je, Brahim, Ari, dan Isan saling mempertahankan sifat kepelitan mereka, akan keluar kata-kata, “sama-sama Pidie pih kriet.” Anehnya, bila teman mereka yang selain dari Pidie bersikap kriet (pelit), akan dikata, “bek meupidie that..!” Lebay.

Sebuah rahasia umum di Aceh kalau orang Pidie itu dicap “kriet”. Menurut cerita Pak Zai di kampus, dulunya, ada seseorang bertandang ke warung orang Pidie. Dia memesan nasi bungkus. Biasanya, setiap pembeli nasi bungkus akan diberikan pula air putih dalam kantong plastik bening. Satu nasi satu air.

Namun hari itu sang pembeli yang non-Pidie itu heran. Ia melihat si penjual sedang memisah-misahkan puluhan kantong air. Kata si penjual pada pembeli, air itu dipisahkan karena tadinya orang dinas sudah memesan 50 nasi bungkus. Makanya disiapkan lebih dini. Lalu, “untuk saya mana?” tanya pembeli itu yang sudah berwajah cemberut karena lama menunggu. “Sedang saya masak. Mohon tunggu sebentar lagi ya,” kata penjual itu. “Bit-bit kriet (benar-benar pelit),” gumam pembeli sembari pergi dengan kecewa.

Lalu, si pembeli itu menyebarluaskan “kepelitan” pembeli tadi. Ia menceritakan dari mulutnya ke mulut setiap orang yang dijumpainya, bahwa (seorang) penjual di Pidie itu pelit. Lebih mementingkan pemesan yang belum tentu mengambil pesanan dibanding pembeli langsung ke warung. Padahal (barangkali) maksud penjual Pidie itu, “adat geutanyoe pemulia jamee”. Ia hendak memuliakan tamu.

Karena itulah (mungkin) cap “Pidie Kriet” eksis sampai hari ini. Sama ceritanya juga muasal persepsi sebagian rakyat Aceh kepada orang Aceh bagian Barat-Selatan. “Misal hati-hati kalau ke Meulaboh dan Aceh Selatan, meunyo (kalau) macam-macam dipeukeunong (diguna-guna) keuh,” kata Je meniru pernyataan orang yang dimaksud. Lalu, cap itu menyebar dari mulut ke mulut dan bertahan sampai hari ini.

“Kenapa bisa begitu Pak?” tanya Ari pada Pak Zai. “Itu karena adanya labelling teory, atau stigma, atau pencitraan.” Pak Zai mengatakan, dalam ilmu sosiologi komunikasi, perihal itu namanya labelling teory (pencitraan), yakni sebuah label umum untuk masyarakat suatu daerah. Berkembang dari mulut ke mulut (voice to voice). “Oooooo, meunan.”[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.