Kulet Pisang

Hari Jumat, mau bercerita tentang apa ya? Pikirku sebelum memulai menulis kelakar ini. Tiba-tiba saja saya teringat salah satu judul SMS di Harian Aceh. “Syariat Kulet Pisang” judul SMS itu di harian ini dua hari lalu.

Jujur saja, hati saya geli membaca judul SMS itu, tapi kemudian saya berpikir ada benarnya juga. Kulét pisang

(kulit pisang), jika tak dibuang pada tempatnya, tentu dapat membahayakan sesiapa. Misalkan saja, selepas makan pisang, kulitnya di buang sembarangan, lalu seseorang melintas dan terpijak kulit pisang tadi. Tak ayal, kalau bukan jatuh, minimal badan orang itu akan oleng atau tersentak ke belakang.

Begitu bahayanya kulét pisang. Dia dapat menyentakkan bahkan menjatuhkan seseorang. Bagaimana jika syariat Islam dilabelkan bagai kulét pisang? Inilah yang membuat saya berpikir gelisah dan menganggap ada benar juga SMS yang dikirim seseorang itu. Artinya, syariat Islam memang harus diperankah oleh orang-orang mengertia dan diletakkan pada tempatnya. Ilustrasi kulét pisang yang dapat mencelakakan seseorang, jua dapat terjadi pada manusia dalam menyikapi syariat Islam di Serambi Makkah ini.

Ingatan kita pasti masih hangat pada peristiwa seorang warga di Aceh Utara yang dipotong tangannya karena kedapatan mencuri kambing warga setempat. Betapa potong tangan itu dikaitkan dengan sanksi syariat Islam di Aceh. Kemudian, setelah jemari lelaki itu pisah dengan pergelangan tangannya, barulah pakar-pakar hukum dan syariat di negeri ini membuka mulut bahwa hukum potong tangan seperti itu.

Ini salah satu contoh kasus syariat kulét pisang. Manakala kulét pisang pisang tidak dibuang pada tempatnya, akan ada yang celaka atau terluka. Semestinya, mereka yang mengaku sebagai pemangku syariat di Aceh ini memberitahukan bahwa kulét pisang (Syariat Islam) harus diletakkan pada tempatnya. Artinya, segala macam bentuk hukum dan sanksi Syariat Islam mesti disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak ada yang terjatuh dan terluka oleh syariat.

Dalam bentuk lain, pemangku syariat juga mesti diberikan sosialisasi tentang batas-batas pelanggaran Syariat Islam, siapa saja yang boleh menghukum dan dihukum syariat, dan sebagai pemangku syariat, tentu dia tidak melakukan pelanggaran syariat.

“Bak utôh geuyue ceumuelék, bak ureueng lisék geuyue keunira,” kata hadih maja Aceh. Jika segala sesuatu diberikan kepada ahlinya, tentu tak ada lagi yang melempar kulét pisang di sembarang tempat.

Dalam kearifan lain disebutkan, Bèk tajeuruet bulôh beukah, teusie jaroe jitubiet darah. Tentunya petuah itu memberikan pengetahuan kepada masyarakat jangan pernah mencoba-coba melakukan pelanggaran terhadap sesuatu yang telah disepakati, kendati hanya sekedar mencoba-coba. Misalnya, mencoba-coba melempar kulét pisang bukan pada tempatnya. Ditakutkan, salah-salah, diri sendiri yang terpeleset pada kulit pisang sendiri. Istilah Indatu, bèk tatiek duroe bak jalan raya, han teutob bak tajak teutob bak tawoe, peunyakét tabloe utang tapeuna. Hehehe..[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.