PADA suatu subuh yang lebih dingin dari pagi lain, ada tiga orang yang barusan pulang berhaji menjadi jamaah salat subuh di mesjid gampong. Ada Haji Abdullah, Haji Assamad, dan Haji Sulaiman.
Ketika ketiganya datang, azan baru saja selesai dikumandangkan oleh muazzin yang pagi itu giliran Apa Maun yang bersuara merdu. Maka Apa Maun pun iqamat, lalu mempersilakan kepada ketiga haji tersebut untuk menentukan siapa di antara mereka yang jadi imam salat subuh pagi itu.
“Teungku Haji Abdullah saja jadi imam,” kata Apa Maun.
“O, tidak bisa, dia berhaji dengan uang dinas pemerintah, uang rakyat,” sela Haji Assamad.
“Kalau begitu, Haji Assamad saja, anda kan seorang pengusaha, berhaji dengan uang hasil kerja sendiri,” kata Apa Maun lagi.
“Itu lebih tak bisa, karena Haji Assamad suka melambatkan bayar gaji pekerja di perusahaannya, dia menyakiti banyak orang,” sahut Haji Sulaiman.
“Ya sudah, Haji Sulaiman saja,” kata Apa Maun lagi.
“Tak bisa juga, dia lebih parah, dia kontraktor yang suka melambatkan penyelesaian proyek yang ia tangani,” sela Haji Abdullah.
Maka mengingat waktu subuh tidak lama, Apa Maun pun memilih dirinya jadi imam salat. “Baiklah, aku saja yang jadi imam walau tak ke haji, tapi aku tidak berurusan dengan harta orang banyak seperti kalian, dan hanya dengan bertopi haji ini aku dapat disebut haji mabrur,” Apa Maun yang bertopi haji pun bersiap-siap bertakbiratul ihram.
“Bagaimana bisa?” Haji Abdullah heran.
“Bisa saja, kan aku sering mengajarkan orang tentang cara berhaji, jadi hajiku sudah duluan mambrur sebelum melaksanakannya,” Apa Maun menjawab tegas.
Ketiga haji pun bersiap-siap takbiratul ihram menyusul Apa Maun, mereka tidak berdebat lagi karena tidak mengerti bagaimana yang disebut haji mabrur, dan mereka yakin bahwa Apa Maun memang selalu benar. Mereka hanya ikut manasik haji di kota sebelum ke Arab, tak sempat belajar tentang haji sebelumnya karena terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.[]