HIDUP ini memiliki banyak perumpamaan. Kisah-kisah klasik perumpamaan mengajarkan pada kita bagaimana hidup harus dimaknai. Diantara jutaan kisah perumpamaan itu, kali ini saya ingin mengutip sebuah dongen dari Zaire.
Kisah ini menggambarkan kelemahan yang menjelma jadi penghancur, dan kecerdikan yang berujung pujian atas kerja orang lain. Dongen Zaire yang ingin saya kutip berkisah tentang seekor penyu yang menantang tarik tambang dengan gajah dan kuda nil.
Kisah perumpamaan yang akan saya ceritakan ini, memberi kita pelajaran bagaimana silemah yang diremehkan bisa jadi punggawa dan menuia terimakasih atas kepiawaannya. Meski sesunguhnya ia sama sekali tidak melakukannya.
Baiklah, saya mulai kisah si penyu yang lamban dan lemah. Ia teseok di bibir pantai menuju timbunan pasir dekat tebing untuk bertelur. Dari rimbunan hutan keluar gajah yang langsung mengolok-ngoloknya. “Menyingkir dari jalankan, aku bisa menginjakmu dan kau akan mati,” bentak si gajah.
Penyu hanya tersenyum. “Keperkasaan tuan gajah tak akan bermakna apa-apa bila hanya untuk menghancurkan aku sipenyu yang hanya bisa terseok di pantai. Meski demikian, sebuah kehormatan bagiku bila tuan gajah mau beradu tarik tambang denganku,” tantang penyu dengan nada santun tapi mengejutkan.
Mendengar itu gajah terbelalak. Ia mengangkat belalai tanda setuju, kemudian dengan belalainya memindahkan penyu dari jalannya. “Nanti aku tunggu di atas bukit,” kata si gajah. Dengan terseok dibawah terik matahari, penyu berjalan menuju bukit. Di satu sis pantai ia bertemu dengan seekor kuda nil. “Lambat benar jalanmu, tak selincah kayuh tanganmu ketika berenang,” ejek si kuda nil.
Penyu menolah dan berkata. “Tidak tuan Nil, kekuatanku setara dengan kekuatanmu,” jawab penyu. Sama seperti gajah, kuda nil juga terkejut mendengar jawaban penyu. “Bagaimana kau membuktikan bahwa kekuatanmu setara denganku?” tanya kuda nil.
Penyu menarik sepotong tali dari semak. “Pegang ujungnya, nanti ketika aku berteriak, tuan nil harus menariknya. Nanti akan terlihat siapa yang kuat,” jelas si penyu. Sambil membawa tali yang ujunnya dipegang kuda nil, penyu masuk hutan lebat menuju bukit. Tempat ia akan menempati janji menantang gajah. Ujung satunya lagi diberikan pada gajah. “Tarik ujungnya kerika nanti aku berteriak di sebelahs ana,” instruiksi si penyu.
Tak lama kemudian penyu berteriak, ujung tali pun ditarik. Penyu santai di bawah semak. Gajah dan kuda nil tidak begeser, sama sama kuat menarik tali. tali itu pun putus. Penyu kemudian kembali pada gajah, setelah itu ke kuda nil. Baik gajah dan kuda nil mengakui kekuatan si penyu. Penyu berhasil mendapat pengakuan dan ucapat terimakasih terhadap apa yang tidak dilakukannya. Gajah dan kuda nil mengakui kekuatan penyu sama dengan kekuatan mereka.
Begitu juga dalam kehidupan ini, ada yang angkuh, ponggah, dan lain sebagainya, meremehkan kekuatan si kecil, yang ujung-ujungnya nanti ia sendiri yang harus terperosok dalam permainan si kecil, serta memberi si kecil pangakuan di atas kemampuannya.
Menutup cang panah ini, saya kutip kata-kata Zhan Yu, komentator the art of war abad sebelas; menyerang kekosongan dengan kepenuhan, sama dengan melempar telur dengan batu. Penyu berhasil melempar kekosongan “pikiran” gajah dan kuda nil yang perkasa dengan kepenuhan ide kreatifnya. Jadilah penyu, jangan gajah dan kuda nil.[]