Bayi merah saga dikeluarkan dari rahim. Ia berpekik menangis; komunikasi pertamanya di dunia. Saat demikian, sang ibu amat senang dan haru-biru. Setidaknya senang karena ketika ia besar, bisalah disuruh kesana-kemari untuk melakukan sesuatu.
Saking bahagianya, perempuan yang baru melahirkan akan selalu menanyakan anaknya mirip siapa kepada setiap penjenguk. “Mirip siapa dia Je?” tanya kakaknya yang baru melahirkan. Pertanyaan itu sudah sekian kali didengarnya dari ibu-ibu yang baru melahirkan.
Biar senang, “Mirip artis yang main sinetron ini…” jawab Je jika sang ibu Aceh itu suka nonton sinetron, sembari mengernyitkan kening, pura-pura lupa. Padahal sama sekali tak mirip artis, melainkan mirip ayah si anak yang “gimana gitu”.
“Mirip Teungku Pulan,” sahutnya jika sang ibu Aceh itu muslimah; suka baca Alquran. “Mirip Briptu Norman,” ucapnya bila ibu Aceh itu suka lagu India dan berjoget. “Mirip Ayu Ting Ting,” katanya bila si ibu Aceh sering salah alamat dan suka dangdut. “Mirip Ronaldo,” tuturnya bila ayah si bayi itu suka main dan nonton bola. “Mirip Gayus Tambunan,” sindirnya jika ayah si bayi pernah kedapatan warga mencuri ayam atau semangka di ladang.
Semua jawaban itu, dilontarkan Je, sebagai sebuah semangat bagi ibu-ayah si bayi. Seperti pesan seorang tokoh dunia, “pujilah si anak, dan Anda membuat senang ibunya,” kata William Cobbett.
Agar mereka merawat dan membesarkan titipan Tuhan itu hingga jadi “orang”. Agar mereka lebih rajin “membuat anak” atau “membeli adek” ke depannya, sebagai upaya melawan program Keluarga Berencana (KB) yang membatasi dua anak saja—padahal bisa saja diprogramkan Keluarga Berencana sampai selusin anak. Terakhir, agar keduanya lebih rajin ibadah dan mencari nafkah.[]