Pagi itu, Sariana, pensiunan guru berjalan menuju bank. Dia harus menarik uang dengan buku. Karena dia tidak tahu cara pakai ATM. Kartu magic itu tidak diurusnya. Sampai di bank, tentu harus ngantri. Nomornya 60. Di dinding dekat teller tertera angka 20. Masih akan lama lagi dia dipanggil.
Duduk menunggu dipanggil. Seorang karyawati bank melintas di depannya. Pelan langkah karyawati bertubuh kurus itu mendekat. “Ibu Sariana kan……..,” kata karyawati itu. Sariana menatap karyawati itu. Dia lupa siapa yang di depannya. “Saya Citra bu…murid ibuk dulu di SD bertingkat,” kata karyawati itu.
“Ya saya ingat, yang suka jalan saat ujian untuk bantu abangnya kan,” ujar Sariana. “Ya buk…,” karyawati bank bernama Citra itu tersipu. Mereka salaman. “Mau tarik uang ya bu,” ujar Citra. “Ya, masih lama nomor antrinya,” ucap Sariana. Pembicaraan mantan guru dan murid itu harus terhenti. Citra harus kembali bekerja.
Beberapa menit kemudian Citra mendekat ke ibu Sariana. “Ini buk ada nomor antri, tadi ada kawan saya yang batal transaksi, kebetulan nomornya diberikan saya,” ujar Citra. Lalu Citra berlalu. Sariana melihat nomor 28. Sementara di dinding teller sudah nomor 24. “Ah tiga orang lagi,” gumam Sariana.
Keluar dari bank. Sariana bangga. Dalam hatinya dia berkata. “Itu tadi anak didik saya, ah dia jadi pegawai bank sekarang, dia masih ingat dengan saya, karenanya urusan di bank sedikit lebih cepat, mereka anak baik,” gumam Sariana, berjalan menuju rumah sakit, beberapa ratus meter dari bank.
Di rumah sakit. Puluhan orang mengantri di loket. Operator memasukkan nama pasien yang akan berobat. Sebagai orang tua. Dia agak sulit untuk lama berdiri. Tetapi itu harus dilakukan. Proses administrasi harus dipenuhi. Standarnya sudah baku. Teorinya, tak kenal tua muda, miskin kaya.
“Ini ibuk Sariana kan,” ujar seorang pemuda berpakaian putih-putih. Lama Sariana memandangnya. Tetapi dia sudah pangling. Sama sekali pemuda itu tidak dikenalnya. “Saya Oscar, murid ibuk di SD bertingkat,” kata pemuda bernama Oscar itu. “O ya, yang suka minta tolong sama Citra kalau ujian, kalian kakak beradik satu kelas,” Sariana jadi ingat.
“Mau kemana bu, berobat,” kata pemuda itu. “Ya, lagi ngantri ambil kartu, banyak sekali pasiennya ya,” sebut Sariana. “Biar saya urus bu, ibuk duduk saja dulu, ke dokter mana bu,” kata pemuda itu. “Penyakit mata,” jawab Sariana. Oscar minta izin membawa kartu berobat Sariana untuk dibawa ke ruang pendaftaran pasien.
“Ini bu kartunya, tinggal menunggu dipanggil di ruang poli di ujung lorong,” kata Oscar kepada gurunya itu. “Maaf bu, saya harus pergi,” lanjut Oscar. Sariana berjalan menuju ujung lorong, tempat ruang poliklinik mata di rumah sakit pemerintah itu..
“Ibu Sariana,” seru perawat. Sariana bangkit. Masuk ke ruangan poli. “Silakan buk,” seru dokter mata itu. Sariana terkejut. Karyawan rumah sakit yang membantunya tadi bukan karyawan biasa. Dia dokter mata. Dua muridnya sudah memudahkan urusannya hari itu. Dia keluar dari rumah sakit berjalan pulang.
Saat melintas di kawasan Simpang Empat yang sibuk dengan lalu lalang kenderaan. Dia melihat pemuda sedang bergerombol. Para pemuda itu memakai jeans dan kaos hitam. Rambut gondrong. Dekat mereka berjejer sepeda motor yang sudah dimodifikasi. Kuping mereka rata-rata ditindik.
“Halo buk….,” teriak pemuda dari kelompok yang menyanyi diiringi gitar dengan melambai tangan. Sariana menoleh. “Saya Raju bu, murid ibuk dulu,” ujar pemuda yang jeansnya robek dilutut itu. Sariana ingat dengan anak didiknya itu. “Maaf nak saya tidak ada murid seperti kamu,” ucap Sariana, melanjutkan jalannya.
Dalam perjalanan pulang. Sariana merasa berdosa tak mengakui Raju sebagai muridnya. Hanya karena Raju hidup tak jelas. Tak ada yang bisa dibanggakan. Beda dengan Citra dan Oscar. “Nasib orang beda-beda, Raju maafkan ibu guru mu ini, tapi ibu tak mau ada murid ibu seperti itu,” guman Sariana setiba di rumahnya.[]