Musara Alun

Sebagai daerah yang terletak di pergunungan, negeri kami berhawa dingin. Tanpa kenal waktu, apalagi di pucuk malam, masyarakat kami akrab dengan api unggun; untuk menghangatkan tubuh.

Tapi api unggun itu kini telah semakin membesar. Lidah apinya menjilati segala penjuru. Desis suara bakarannya bukan lagi berisi kalimat seperti dulu, “Mohon bangun segala infrastruktur demi kelancaran segenap aktivitas rakyat di sini. Mohon perhatikan kami dalam wujud perhatian yang sama adilnya dengan yang selalu diberikan kepada saudara kami di Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur dan Tamiang.”

Saya sebagai salah seorang warga Pantai Utara-Timur, Minggu malam, 28 Maret 2010, ada di tengah keramaian Musara Alun, Takengon, lapangan perhelatan Expo Budaya Lauser 2010.

Api unggun malam itu di tengah Musara Alun membuat semesta Tanah Gayo memerah. Saya diundang sebagai saksi atas desis-desis bunyi jilatan lidah api itu.

Dan persis saya dengar, sayup-sayup namun tegas, kalimat-kalimat di pucuk lancip gemulai liukan lidah api itu kini bunyinya, “Aceh Lauser Antara, Aceh Lauser Antara. Aceh Lauser Antara.”

Tiada lain. Sudah, sampai di sini. Dulu segenap kesabaran dalam pinta, menguap bagai halimun pagi, seakan kami warga buduk di lokalisasi warga kusta. Sudah, sudahlah. Jangan lagi datang dengan rayuan yang menipu.

Kini kata Aceh Lauser Antara sudah kami keramatkan. Hanya tinggal menunggu estafet dalam rangkaian waktu dan episode perjuangan. Selamat berpisah. Itu bakal kita ucapkan kelak di tapal batas.

Namun satu yang kami telah bersumpah untuk itu. Yaitu kesetiaan. Karena kita terlahir dari satu rahim ibu.[]

3 thoughts on “Musara Alun

  1. Nyaaaan. Udah mulai lagi tu ALA! Malas dengarnya! Semoga ABAS ga pernah ada! Cukoplah jadi kabupaten aja kampong kami ni..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.