SUDAH setahun Jailani dan kawannya menikmati hidup di Banda Aceh. Sedikit-banyaknya mereka telah tahu pergaulan hidup anak kota. Kini mereka punya nama gaul. Jailani bin Yusuf dipanggil Je, karena ia agak mirip bule. Jauhari bin Saleh (Ari) sering dipanggil Ari Gatok, karena ia agak mirip orang Jepang. Ibrahim bin Daud (Brahim) sering dipanggil Bram atau Bram Sing, kecuali kawan kosnya yang masih menyapa Him. Ibrahim mirip orang India. Sedang Ikhsan bin Aiyub (Isan) sering dipanggil Iis Aiyubi. Ikhsan agak mirip orang Arab.
Mereka senang sekali ketika disapa dengan nama baru itu. “Ah, lebay,” ketus Siti saat mengetahui nama baru mereka. Siti adalah teman seruang kuliah mereka. Siti juga mahasiswi paling sering diburu lelaki, termasuk Jailani. Tapi hubungan mereka hanya bertahan seperempat tahun. Cinta mereka putus hanya gara-gara Jailani tak membawa oleh-oleh asli dari Pekanbaru bulan lalu. Siti merasa ditipu Jailani. Kini Siti sudah digandeng cowok lain. Sedang Jailani menjomblo lagi. Siti; hidung mancung, kulit putih, alis tebal, mulut kecil, mata bulat, dan lengan-kakinya berbulu lebat. Karena itulah, dari nama aslinya Nurhayati binti Abdullah, menjadi Siti, atau juga kerap disapa Aya.Kemarin, seorang dosen mereka juga telah punya sapaan gaul. Dosen muda itu merupakan wartawan sebuah media lokal, juga seniman. Mengajar mata kuliah Pengantar Jurnalistik. Namanya Sulaiman Yusuf. Kalau mahasiswanya memanggilnya Pak Leman. Begitu juga rekan-rekan sang dosen. Tapi sejak kemarin, di ruang kuliah, sang dosen meminta pada mahasiswa untuk mulai memanggilnya, “Sule”. Bukan berniat meniru pelawak nasional. Tapi biar keren dan beken. Pak Sule berambut gondrong, hidung mancung patah. Bibirnya merah. Jailani dan kawan-kawan benci pada Pak Sule saat mengajar. Kalau mahasiswi yang bertanya, menjawab dengan manja. Kalau mahasiswa yang bertanya, jawabnya mutar-mutar dulu, setelah itu baru ke sasaran. Kalau ada diskusi, lebih sering mengizinkan mahasiswi berikan pendapat. Namun satu hal yang paling disuka mahasiswanya. Kalau saja ada karya tulis mahasiswa yang dimuat media massa, maka akan ada jaminan mendapat nilai B. Tak perlu sering masuk kuliah. Tentu Jailani sangat termotivasi untuk menulis.
Penyebutan nama gaul menjamur dalam sekejap. Apalagi mahasiswa Teknik. Seperti kawan Jailani. Dari namanya Mahmud Idris, diubah jadi Uud. Kadang Jailani mengejeknya ketika sesekali diajaknya ngopi. Ia akan berkata, “Undang-undang Dasar sudah datang. Haha!” Dan, masih banyak mahasiswa-mahasiswa di Aceh yang punya nama gaul.
“Kenapa ini bisa terjadi?” Tanya Jailani pada kawannya, suatu malam di kos Darussalam. “Je, menurutmu kenapa?” Sambar Iis Aiyubi. “Mungkin pemuda Aceh tak suka lagi budaya sendiri. Sudah lebih suka budaya asing.” Sambil mengipas diri dengan kaos oblong, “kurasa hanya pemuda yang hidup di kota saja,” Bram Sing berpendapat. “Tidak. Kalian sering-seringlah menguping pemuda kampung yang sedang menelfon pacarnya. Pasti ia akan berbohong pada si pacar, terutama namanya. Kalau misal namanya Jauhari, eh, Zakaria, maka ia akan berkata dengan nada kecil untuk melembutkan suaranya, ‘Panggil aja Bang Jek’. Gak percaya? Coba simak ketika kalian pulang kampung,” ceramah Ari. Mereka saling tatap. Tertawa. Lalu terlelap.
“Begitu juga dengan nama-nama toko dan dan lembaga, terkesan lebay dalam memberi nama,” ujar Jailani di lain kali. Orang Aceh mulai suka ke-barat-barat-an. Ke-Inggris-inggrisan. “Misal Yellow Cafe. Helsinki. Atlanta Cafe. The Aceh Institute. The Pade Hotel. Apalagi?” Tanya Jailani. “Ya, benar. Seperti ini lagi, Atjeh United. Hermes Palace. Dan lain-lain.” Sungguh lama-lama unsur keacehan akan terkikis. Kalau misalnya diberi nama, “Warong Jasa Poma, Laskar Aneuk Nanggroe, Komunitas Kanot Bu, itu tidak gaul. Kolot,” sebut Ari dengan raut kecewa. “Seharusnya kita bangga pada budaya sendiri.Orang Barat tetap akan berteman dengan kita meski kita kampungan, dengan syarat, kita cerdas. Contohi masa Kesultanan Iskandar Muda. Beliau berteman dengan orang Barat, tapi beliau dan rakyatnya tak pernah memunculkan unsur ke-barat-barat-an,” terang Brahim. “Lalu, kita harus mencopot nama gaul kita? Kembali ke semula?” Tanya Isan. “Ya, barangkali,” sahut Jailani.[]
cukup menggelitik 🙂