Seorang perempuan paroh baya, dengan pakaian resmi, menghampiri saya. “Tolong Mas tanda tangan,” pintanya sembari menyodorkan buku karya saya dan minta dibubuhi tanda tangan. Malam itu saya menggelar acara launching buku, di Gedung Antara, Jakarta. Banyak pejabat dan mantan pejabat yang hadir.
“Siapa ya?” tanya saya.
“Ini untuk Pak Ryamizard,” lalu dia mengeja huruf per huruf nama mantan KSAD tersebut. “Bapak titip salam, beliau tidak bisa hadir.”
Saya tersenyum; “Nggak usah dieja, saya sudah tahu,” kata saya.
Saya tulis di halaman paling depan isi buku; ‘Buat Tentara Sejati, Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu’ lalu saya sodorkan untuk diperiksa speling namanya.
“Benar Pak, seperti itu,” katanya senang.
Setelah itu, saya bubuhi tanda tangan berikut tanggalnya; 8 Juni 2007.
Saya ingat betul speling nama jenderal tersebut karena saya cukup konsen mengikuti sepak terjang beliau. Turutama saat beliau turun langsung ke Aceh memimpin evakuasi korban tsunami maupun perbaikan infrastruktur yang hancur akibat bencana itu. Mungkin yang minta tanda tangan tadi sekretaris pribadi beliau.
Soal nama ini ada pengalaman lain. Pernah suatu ketika ajudan Bang Syafrie Syamsuddin mengembalikan undangan gara-gara penulisan nama beliau salah. Nama Sekjen Dephamkan ini ditulis Letjen (TNI) Syafri Syamsudin. Jadi kurang e dan d.
Soal nama ini, saya pernah agak kesal dengan panitia diklat jurnalistik sebuah kampus yang mengundang saya untuk cas cis cus tentang jurnalistik. Pasalnya, pencantuman nama yang sama dan salah di undangan juga tertera dalam piagam penghargaan yang diberikan. Padahal nama saya kan nggak serumit nama Pak Ryamizard atau Bang Syafrie.
Bagaimana pula dengan nama-nama daerah di Aceh yang antara lafal dan tulisan berbeda? Pastilah tambah rumit. Saat tsunami, banyak reporter tv dan koran dari Jakarta salah ucap dan tulis. Bireuen misalnya ada yang menulis Biren, Bireun, Biruen dst.
Ini belum lagi menyangkut nama orang. Bupati Bireuen saat itu, Mustafa A. Glanggang ada yang menulis Mustofa A. Gelanggang, Mustafa A. Geulanggang dst. Memang, Cak Mus (karena dia kader NU) kelahiran Geulanggang, tapi dia lebih suka memakai Glanggang dalam speling nama belakangnya. “Siapa yang peduli dengan saya, akan tercermin ketika menulis nama saya, benar atau salah,” kata Cak Mus suatu ketika.
Penyiar tv sering salah mengucapkan Teungku Muhammad Daud Beureueh dibaca Berêh sehingga bermakna lain. Terkadang melafalkan dan menulis gelar juga sering rancu. Terutama antara teungku, teuku dst. Seringkali tak bisa dibedakan.
Tgk. Mansur Amin menjelaskan kepada saya tentang perbedaan itu. Teuku adalah gelar ningrat atau bangsawan untuk kaum pria suku Aceh yang memimpin wilayah nanggroë atau kenegerian. Dalam bahasa Aceh, teuku bermakna seorang hulubalang atau ulèë balang. Sama seperti tradisi budaya patrilineal lainnya, gelar teuku dapat diperoleh seorang anak laki-laki, bilamana ayahnya juga bergelar teuku.
Sedangkan teungku (juga disingkat Tgk.) secara umum gelar sapaan bagi laki-laki dewasa di Aceh. Setiap laki-laki dewasa dari suku Aceh dapat disapa dengan sapaan teungku, seperti dituangkan dalam hadih maja Aceh teungku, Meulayu abang, China toke, kaphe tuan.
Pepatah tersebut dalam Bahasa Indonesia dapat ditafsirkan bahwa orang Aceh bergelar teungku, orang Melayu bergelar abang, orang China bergelar toke, dan orang Eropa bergelar tuan.
Meskipun demikian, kata Tgk. Mansur, secara khusus teungku juga merupakan gelar kepakaran dalam keagamaan di Aceh misalnya; Teungku Chik Di Tiro dan Teungku Daud Beureueh. Gelar kepakaran teungku juga dapat disandang oleh wanita misalnya Teungku Fakinah.
“Sebagai pembedaan gender pemakai, gelar teungku bagi wanita sering dilengkapi dengan sebutan teungku nyak,” ujarnya.
Saya jadi agak mengetahui. Baru tahu pula bahwa para penulis Indonesia sering salah menulis gelar pahlawan nasional asal Aceh. Teuku Umar ditulis Teungku Umar. Padahal beliau seorang ningrat dari sebuah kerajaan kecil di Aceh Barat.
Lalu, Teungku Chik Di Tiro sering ditulis Teuku Chik Di Tiro. Padahal beliau bukan seorang ningrat, tetapi adalah seorang ulama besar di wilayah Tiro, Pidie.
Setelah mendapatkan ilmu sedikit itu, saya langsung memanggil teman-teman di kantor dengan embel-embel teungku. Ada Tgk. Hamdan, Tgk. Bur, Tgk. Azwar yang terbaru Tgk. Nas.
Khusus Tgk. Nas, dia agak kheki dengan embel-embel itu. “Panggil saja Abang,” katanya.
Ya, deh, Bang.[]