“Kesimpulanya,” kata teman saya, “bila waktu luang yang ada dalam kehidupan orang-orang muda tidak digiring ke arah aktivitas atau permainan yang bermanfaat seperti permainan musik, olah raga dan olah raga otak seperti catur, dikhawatirkan godaan membunuh waktu dengan shabu-shabu akan menjadi alternatif di tengah barang haramjadah itu yang selama ini memang sangat mudah didapati di dalam komunitas mana pun masyarakat kita.”
Oo, begitu? Lalu saya bilang, komunitas orang-orang pesisir biasa mengisi waktu santai dengan kerja produktif yang mendukung prefesi mereka sebagai nelayan seperti menjerat atau menambal jaring di pepasiran di bawah rindang cemara di antara meuset-set angin laut. Tapi itu mereka lakukan dalam kondisi baru usai nyabu di jambo tertutup tepi kuala.
Kata saya lagi, komunitas masyarakat tepian gunung biasa mengisi saat senggang dengan berburu ayam hutan, mengail belut di alur bukit atau mengupas-ngupas biji kacang untuk digoreng sebagai penganan saat sore diguyur hujan. Tapi itu mereka lakukan dalam kondisi baru usai nyabu di jambo tertutup di tepi ladang dekat bukit.
Sedangkan jenis kegiatan pengisi relaksasi bagi warga perkotaan, bisa beragam. Dari permainan musik secara perseorangan atau berkelompok, main tenis, cuci mata di rex-rex tepi jalan bahkan hingga ke tebar pesona dengan gaya jalan yang dianggun-anggunkan (bagi perempuan) atau gaya tiek aleh yang dijantan-jantankan sembari melangkah di areal taman kota pada sore hari. Dan rata-rata itu mereka lakukan setelah usai nyabu di kamar-kamar kost teman.
Terus saya bilang juga, ciri khas aktivitas pengisi waktu luang bagi kelompok anak muda yang mendiami beberapa kampung di seputar pasar ibukota kecamatan saya adalah dengan bermain catur di bawah rindang perdu bambu di kala matahari terik siang bolong atau saat sore menjelang tibanya waktu salat Magrib.
Salah satu kelompok muda pemain catur paling aktif di bawah perdu bambu itu adalah terdapat di kampung saya sendiri di mana saya juga ikut di dalamnya. Persis di sisi paling utara desa kami yang berbatasan langsung dengan tepi sungai, di sini terdapat sederetan perdu bambu yang memberikan suasana paling rindang sehingga. Saking rindangnya, bila dalam tempo beberapa jam saja tak didiami atau dilintasi orang, maka sekawanan lembu akan segera menempati areal itu untuk tidur sembari memamahbiak makanan di lambung.
Kebetulan di bawah kerindangan perdu bambu itu pula terdapat tiga warung kopi yang juga terletak persis di sisi jalan yang siap melayani pesanan kopi, mie dan rokok bagi para pemain catur di mana meja dan lingkaran kursi para pemain dan penonton catur ini terletak persis di belakang tiga warung tersebut.
“Di sini kami bermain catur bukan hanya untuk membuang-buang waktu, tapi kami juga sering membuat turnamen antar rekan-rekan pemain yang berasal dari beberapa kecamatan tetangga,” kata saya kepada teman itu dan, entah dia tahu atau tidak, rata-rata para peserta catur di turnamen-turnamen yang kami gelarkan itu adalah pecatur-pecatur yang bertanding setelah menghisap shabu-shabu.
“Kesimpulanya,” kata teman saya dengan semangat idealismenya yang tinggi, “bila waktu luang yang ada dalam kehidupan orang-orang muda tidak digiring ke arah aktivitas atau permainan yang bermanfaat seperti permainan musik, olah raga dan olah raga otak seperti catur, dikhawatirkan godaan membunuh waktu dengan shabu-shabu akan menjadi alternatif di tengah barang haramjadah itu yang selama ini memang sangat mudah didapati di dalam komunitas mana pun masyarakat kita.”
Demikianlah kata teman saya itu yang saya tahu persis setengah jam yang lalu baru keluar bersama teman-teman lainnya dari sebuah rumah tua yang terletak di sudut kampung; usai nyabu.[]