Oleh-oleh

SAATNYA pulang telah tiba. Jailani gamang. Ia tak punya uang untuk membeli oleh-oleh. Sebelum ia pergi ke luar daerah seminggu lalu, teman, saudara, tetangga, keluarga, dan kekasihnya memintanya untuk membawa pulang oleh-oleh. “Boleh, jika ada uang lebih,” kata Jailani saat itu.

Seminggu lalu, Jailani pergi ke negeri Lancang Kuning. Ia menuntut ilmu ke sana. Ia mengikuti workshop menulis bersama kawan-kawan mahasiswa se-Sumatera. “Pematerinya hebat,” kata Jailani. “Wawasannya internasional.” Alasan lainnya, “seorang pemateri pernah mengajar di kampusnya setahun. Namun karena ya … dia tak lagi mengajar di sana. Begitulah.”

Jailani pergi ke sana menggunakan uang pribadi; uang yang didapatnya dari hasil menulis di media. “Di kampus hana peng (tak ada uang),” kata Jailani. Alhamdulillah, honornya cukuplah untuk ongkos pulang-pergi dan makan di perjalanan. Namun Jailani menyayangkan kawannya dari kampus seberang yang tak bisa ikutan, padahal kawannya itu lulus seleksi juga dan amat berminat. “Enggak ada anggaran dari biro,” kata kawan Jailani. Maka pergilah Jailani.

Kini saat hendak pulang, teman-teman pelatihan sibuk belanja oleh-oleh atau sekadar gantungan yang ada embel-embel Lancang Kuning. Atau, mungkin, kaos berembel-embel negeri penghasil minyak itu. Tidak dengan Jailani, ia hanya bisa raheung (menatap hampa). Ia cuma bisa lihat-lihat saja. Hendak meminjam, malu. Mencuri, apalagi.

Jailani berpikir, kalau untuk teman, tetangga, saudara, dan keluarga, bolehlah kalau tak ada oleh-oleh. Tapi untuk kekasih, ia harus punya. Ia tak mau kehilangan kekasihnya yang elok tiada tara hanya gara-gara tak dibawa oleh-oleh. Kekasihnya pengen dibawa kaos berlambang Lancang Kuning. Kolot memang. “Tapi tak apalah. Demi kelanggengan hubungan. Dan, kolot-kolot begitu, cantiknya tiada banding.” Mengakali hal itu, Jailani tersenyum.

Ketika tiba di kos di kotanya, Jailani meminjam uang barang duapuluh ribu pada kawannya. Mulanya kawan Jailani enggan memberi sebab tak ada oleh-oleh. “Tahunya oleh-oleh. Bukan ilmu yang diminta,” sela Jailani. Namun akhirnya, karena Jailani pernah sekali berbuat baik pada dirinya, si kawan memberinya juga. Lalu Jailani buru-buru ke kota, sebelum jam lima sore, waktu dimana telah berjanji ia ketemuan sama kekasihnya. Satu jam lagi.

Jailani masuk tempat sablon. Ia meminta kaos putih. Lalu minta disablon dengan gambar Lancang Kuning. Pelayan pun mencarinya di internet. Dan dapat. Tanpa basa-basi lagi, baju segera disablon. Jailani bangga sekali. Kaos putih bergambar perahu kuning dengan lima pasang bendera di dua tiang melekat rapi di dada kaos. Biayanya pun pas 20ribu. Lalu ia menjumpai kekasihnya di sebuah kafe. On time. Jailani kian dikasih, disayang, dan dicinta.

Dua hari kemudian, kekasih Jailani menelfonnya. Minta putus. Jailani berbohong dibilangnya. Ya, gambar Lancang Kuning di kaos itu hilang usai dicuci. Itu bukan baju asli dari Negeri Lancang Kuning, kata kekasihnya. Jelas. Jailani hanya bisa memelas, agar tak diputusi. “Cinta, jika kau memutusiku, janganlah karena baju, janganlah karena uang. Mungkin, bisa karena tidak ganteng.” Jailani ditinggal kekasihnya di kafe itu. Sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.