ADA banyak demo yang terjadi di gampongku akhir-akhir ini. Macam-macam sajalah demonya. Dari demo warga ke pemerintah, sampai demo tukang becak ke toke becak. Sepertinya ini lagi musimnya demo.
Semua kalangan ikut-ikutan demo. Begitu juga dengan Muksin. Dia juga mau bikin demo, tapi demo yang didalangi Muksin ini cuma demo ecek-ecek. Begitu menurut penuturannya.
“Kalau Ketua Pemuda Mae itu kita demo, pasti para pemuda gampong kita akan berprasangka miring padanya, semua tindakannya akan dicurigai.”
“Memangnya siapa yang mau demo si Mae, aku sih tak niat mendemo dia, kelihatannya ia bekerja bagus.”
“Ya, jelas tak ada yang mau mendemo dia, makanya kita harus bayar orang biar dia di demo,” Kata Muksin setengah berbisik.Aku menatap muksin bingung. Ini orang selalu punya ide tuk menjatuhkan si Mae. Ia pun mengajakku ke suatu tempat. Katanya itu rumah makelar demo.
Ternyata makelar itu sering menerima paket demo untuk mengganggu atau mendukung pemerintahan yang sedang berjalan, salah satunya si Muksin.
“Mau paket mana? A, B, atau C. Sekarang juga sudah ada paket D bagi kalangan yang kurang mampu.”
“Kalau paket D, apa saja menunya.”
“Paling cuma orang bawa poster saja, lalu berdiri-diri di simpang jalan.”
“Wah, itu tak keren, kalau paket C bagaimana?”
“Massanya lebih ramai dari paket D. Tapi paket ini dilengkapi dengan orator.”
“Hanya itu saja, masih kurang mantap, bagaimana dengan paket B?”
“Paket B ini yang paling sering dipakai. Selain massanya banyak dan oratornya pandai baca puisi juga dilengakapi dengan aksi anarkis.”
“Nah, kalau paket A, apa kelebihannya.”
“Hampir sama dengan paket B, tapi paket A ini lumayan mahal karena kita harus menyewa kambing untuk ditempeli wajah orang yang ingin kita demo.”
“Oke, kalau begitu aku ambil paket A, berapa harganya.”
Lalu makelar demo itu peutron boh tek-tok alias merincikan harga paket A itu di sebuah laptop dan menjelaskannya pada muksin.
“Untuk massa yang berdiri-diri saja kita bayar lima ribu saja, kalau bawa poster tujuh ribulah. Buat massa yang berdiri di barisan depan dan ikut berteriak sambil bawa spanduk ini agak mahal, minimal tiga belas ribu dan bisa lebih, sesuai volume suara teriakannya. Kalau mau yang lebih lantang bisa sampai lima belas ribu.”
“Tak masalah, yang lainnya?”
“Yang lainnya massa anarkis, mereka harus dibayar lebih tinggi dari massa lainnya, sekitar dua puluh lima ribu karena resikonya tinggi. Tentu saja yang paling penting adalah oratornya, kita harus bayar mereka lima ratus ribu”
“Hanya orator saja, kenapa mahal sangat.”
“Tapi orator ini pandai baca puisi.”
“Jadi berapa semuanya?”
“Sekitar 10 juta.”
“Ah, mahal sangat.”
“Ya, karena kita harus menyewa kambing lagi. Ini bukan kambing sembarangan. Kambing untuk demo bukan kambing kleuet yang lari kalau dikejar polisi.”
“Kalau begitu aku tak jadi ambil paket A, paket D sajalah, biar cuma berdiri-berdiri di simpang jalan tak apalah, yang penting namanya demo juga.”
“Jadi siapa yang mau kita demo?”
“Si Mae, anak tukang las ketok magic.”
“O, maaf bang, dia itu bos kami.”[]