Tiga tahun lalu saya ke Jakarta sebagai siswa pada salah satu sekolah SMA. Bang Ghazali Abbas masih di sana. Ketika Aceh dilanda tsunami, Bang Ghazali Abbas pulang menyaksikan musibah dahsyat itu. Ketika pemerintah mengumumkan GAM damai dengan republik ini, Cut Bang Ghazali memilih kembali menetap di Aceh, bahkan pada pemilihan gubernur tahun 2006 lalu, dia ikut mencalonkan diri dari jalur independen. Tapi, belum berhasil.
Sekarang Bang Ghazali sudah mendirikan PAAS (Partai Aceh Aman Sejahtera), yaitu salah satu dari enam partai lokal yang lolos perivikasi KIP.
Kisah Ghazali Abbas yang dikenal vokal ketika menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi PPP itu pulang kampung mendirikan partai lokal bukan hanya sendiri. Masih ada beberapa nama lain yang juga woe gampông untuk mendirikan partai. Keistimewaan Aceh yang diberi kebebasan mendirikan partai lokallah barangkali membuat satu per satu aneuk gampông kembali ke gampông.
Sebut saja nama Dr. Ahmad Farhan Hamid MA, yang kini masih berstatus anggota DPR-RI dari Fraksi PAN. Dia mendirikan PBA (Partai Bersatu Atjeh). Meski sama-sama mengusungkan semangat ke Acehan–kelihatan dari lambang partainya sama-sama menjual setengah pulau sumatera–yakni hanya Propinsi Aceh, namun landasan partai mereka sedikit ada perbedaan. Hal ini tercermin dari azas partai. PAAS misalnya berazaskan Islam. Sedangkan PBA, selain dicantumkan Islam, juga ditambah Pancasila dan UUD 45.
Ternyata dari enam partai lokal, selain PAAS berazaskan Islam, ada tiga lagi partai lokal yang berlandaskan Islam sebagai azas partainya, yaitu partainya orang-orang santri dan para ulama, dengan nama Partai Daulat Atjeh (PDA). Hal yang sama juga dengan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (Partai SIRA). Partai yang dikomandani Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, sebagai ketua dewan syuranya ini lahir dari ‘rahim’ pergerakan referendum masa lalu. Begitu juga dengan Partai Rakyat Aceh (PRA), tetap Islam landasan ideal partai mereka, meski hampir 95 persen dari pengurus dan anggota mereka dari kalangan muda terpelajar.
Sedangkan Partai Aceh, partai yang diketuai Muzakir Manaf, mantan Panglima Tertinggi GAM, mencantumkan Pancasila, UUD 45, Qanun Meukuta Alam Al-Asyi, sebagai azas partai. Parlok yang didominasi oleh para pentinggi dan anggota GAM seluruh Aceh tanpa mencantumkan kata Islam. Keenam partai itu kini sedang mempublikasikan diri ke seantero Aceh. Bahkan, opininya tersebar ke seluruh Indonesia.
Namun, untuk sementara, pengamatan di lapangan, Partai Aceh lebih berkibar dengan bendera partai mereka. Tapi, itu bukan ukuran, karena masa pemilihan umum legeslatif relatif masih lama.
Para politisi di Jakarta menilai kasak-kusuk pasang strategi ingin merangkul partai lokal (parlok), karena parlok itu tiket anggota dewan hanya untuk tingkat kabupaten/kota dan propinsi. Sedangkan untuk keterwakilan anggotanya di tingkat nasional secara organisasi terputus alias tidak terwakilkan. Untuk itulah ada beberapa ketua partai nasional (Parnas) mengiming-iming para pimpinan parlok untuk membantu partai nasional. Ada yang menawarkan koalisi partai, ada pula menawarkan dukungan kepada perpribadi untuk kursi anggota DPR-RI ke Jakarta.
Oke-oke saja untuk koalisi calon anggota DPR pusat. Tapi, bagaimana untuk calon anggota DPRD kota/kabupaten dan propinsi? Pastilah parlok dan parnas saling berebutan dan klem-kleman merangkul masyarakat untuk memilih mereka. Bila kita memakai rumus hasil pemilihan bupati/walikota dan gubernur pada Pilkadasung yang baru lalu, dipastikan pasaran parnas hampir tidak laku dijual di pasaran politik Aceh. Sebagai bukti, Gubernur Irwandi Yusuf dan Wagub Muhammad Nazar, terpilih bukan melalui ‘rahim’ partai politik nasional, tapi jalur independen. Begitu juga hampir setengah bupati/walikota seluruh Aceh dikuasai oleh jalur independen.
Akankah partai Ghazali Abbas dan Farhan Hamid jagonya tingkat nasional bisa mendapatkan kursi di Aceh? Atau PPP, Golkar, PAN, PKS, dan Partai Demokrat yang mayoritas kursi sekarang di DPRD Aceh dan kota tetap bertahan? Jawabannya, tunggu hasil Pemilu 2009 mendatang.[]
(Abu Mahfud)