AKU adalah pelogging illegal. Kutantang siapa pun yang berkata bahwa gunung gundul penyebab banjir bandang yang menelan berkampung-kampung manusia disebabkan profesiku. Kalian boleh memprotes sampai mulut berbusa, tapi lihat perut busung anakku, apa kalian peduli? Ke mana kalian bawa uang hasil penjualan karbon rimba Nanggroe? Kok aku masih lapar hampir mati di sini? Memangnya aku bukan cucu yang ikut berhak mengelola segala warisan indatu?
Aku adalah pelogging illegal. Kutantang siapa pun yang berkata bahwa gunung gundul penyebab banjir bandang yang menelan berkampung-kampung manusia disebabkan profesiku. Kalian boleh memprotes sampai mulut berbusa, banjir boleh menerjang, bandang boleh bergelora, jagawana-jagawana boleh tebar pesona and show of force di sini, tapi semangat hidupku juga tak boleh mati. Aku cucu indatu yang juga ikut menerima hak warisan tanah Nanggroe.
Tetapi mari juga kuceritakan sekelumit liku-liku dan romantika hidup kami di haribaan persada lembah pergunungan. Memang umumnya pelogging illegal adalah laki-laki. Tetapi kondisi alam rimba di saat-saat tertentu kerap membuat kami tak berdaya. Lantas karena Allah SWT telah mencipta segala hamba dengan dua jenis kelamin berbeda demi untuk saling mengisi, maka lihatlah perempuan-perempuan istri kami. Mereka menenteng dulang, pergi bergerombol sesama perempuan menukik ke pedalaman rimba dan bermalam berminggu-minggu di pinggir alur gunung untuk mendulang butiran halus dedak emas agar dapur di gubuk-gubuk kami tetap membara.
Mereka juga nyaris bisa dikatakan seperti beremigrasi puluhan kilometer menuju ke kecamatan-kecamatan tetangga untuk bekerja sebagai petani penanam padi upahan bila sedang musim tanam dengan pendapatan Rp55 ribu per hari per orang. Semua itu adalah cara lain untuk survive saat rimba sedang benar-benar tak memberi rezeki kepada suami-suami mereka yang umumnya bermatapencaharian sebagai pelogging illegal.
Para perempuan di gampong yang lain menjawab tantangan kemirisan rezeki para suami sebagai pelogging illegal di saat-saat rimba berada pada musim penghujan seperti ini dengan aktivitas cari rezeki sebagai perajin tikar pandan. Dan demi mengganti kekosongan rezeki dari suami di rimba, para istri pelogging di kawasan pergunungan yang lain sigap bergelut dengan tanah ladang sebagai petani palawija.
Sedangkan mereka yang tinggal di kawasan pergunungan yang lain lagi membantu menunjang pendapatan keluarga dengan usaha kerajinan ini dan itu. Sementara, bagi perempuan-perempuan yang tinggal di kawasan pergunungan yang berdekatan dengan pasar kecamatan menantang keuletan tangan sebagai perajin kue warung kopi dan usaha dagang lainnya terutama di hari-hari pekan.
Merenda hari-hari di bulan-bulan rimba tengah bergelora bagi para pelogging illegal adalah kisah jalinan waktu yang teramat merisaukan, apalagi musim cuaca buruk itu tepat berada di tengah-tengah musim aktif sekolah dan berbagai les mata pelajaran di luar jam belajar resmi; anak-anak kami butuh biaya lebih dari hari-hari biasa.
Namun di masa-masa galau seperti ini, perempuan-perempuan isteri kami siaga mengulurkan tangan. Untuk membina taraf hidup para keluarga pelogging illegal, pihak terkait di jajaran Pemerintah Nanggroe hendaknya tidak cuma mengandalkan apologi ini-itu yang ujungnya kami terbiarkan bagai warga buduk di lokalisasi kusta dan lalu jatuh ke dalam pelukan kasih sayang para cukong kayu.
Selama ini, sebagai orang gunung yang linglung membawa perut kembung ke mana-mana, cuma cukong kayu yang datang membawa chainsow dan uang panjar senyum lebar namun yang mereka minta hanya satu, pohon-pohon besar di samping gubukku bisa kupindah tempat ke gudang-gudang tersembunyi di halaman belakang rumah mereka bagai Bandung Bondowoso membangun Prambanan dalam satu malam.*