ALKISAH Rajadin, Raja Nagari Baren, bagian dari kerajaan nagari Banceh, berkunjung ke dusun pedalaman. Kunjungan Rajadin untuk mengetahui lebih dekat daerahnya. Bersua dengan rakyat yang sudah lama tak disambangi. Rajadin mendapat kawalan pasukan yang gagah berani.
Tiba di satu dusun. Iringan Rajadin berhenti. Suara tak-tik-tuk dari sepatu kuda yang digunakan sebagai alat transportasi berganti suara gonggongan anjing dari sebuah bukit. Anjing itu terikat di sebatang pohon. Milik tokoh dusun setempat. Beberapa langkah dari iringan Raja.
Selidik punya selidik Rajadin terganggu suara anjing itu. Terlebih karena permaisuri raja sangat takut dan alergi anjing. Tadi, permaisuri kedua Rajadin yang duduk di sisi kiri raja sampai menangis. Air matanya membasahi lantai gerobak kuda yang berbalut kain kuning keemasan.
“Siapa yang berani membunuh anjing itu,” tantang Rajadin kepada pasukannya. Tak ada pasukan berpedang, lembing atau tombak yang merespon tantangan sang raja. Mereka berpikir anjing itu tidak mengganggu dan menghalangi iringan raja. Tak perlu dibunuh. Tetapi dasar raja. Ya ada-ada saja maunya.
Rajadin tidak marah. Lalu tawarkan pembunuhan anjing itu kepada tokoh dusun setempat. Tawaran langsung diterima Amat Bheng, seorang tokoh. Tokoh yang terkenal suka menjilat kepada raja dan pejabat kerajaan nagari. Bukan hanya kepada Rajadin, kepada kambing pun bila perlu dia menjilat. He…he…
“Saya yang akan bunuh anjing itu Tuan Rajadin,” seru Amat Bheng. Tanpa banyak bicara. Amat Bheng mendekati anjing itu. Dengan hebat. Hanya sekali tebas. Anjing itu terkapar bermandi darah. “Bagus,” seru Rajadin. Kini wajah permaisuri kedua Rajadin berbinar. Suasana tegang sedari tadi mencair.
“Karena kamu sudah membunuh anjing yang mengganggu permaisuriku, kamu kuangkat sebagai Ampon daerah ini,” ujar Rajadin. Amat Bheng yang mendadak Ampon, senang. Apa yang diucap raja adalah aturan. Harus dilaksanakan. Kebetulan Ampon daerah itu sudah harus pensiun.
Kali lain, di Meuligoe Rajadin, yang di depannya ada batu historis kekalahan pemberontak nagari melawan pemerintah yang sah, berlangsung kenduri raya berjudul peungeut rakyat yang digelar sebuah lembaga yang pandai mengecat dinding meuligoe raja nagari.
Saat makan tiba. Raja-raja nagari dipersilakan menuju ruang makan utama. Raja-raja nagari berkumpul di ruang itu. Turut serta pejabat “penjilat” raja nagari Baren. Semua hadirin makan dengan lahap. Acara makan memakan itu hampir usai. Lalu tiba-tiba, “Tuuuuuit”, Rajadin buang angin. Tetamu agung raja yang menikmati hidangan penutup dengan anggur pilihan tersentak. Suara blem blom tang ting sendok menyembunyikan arah asal suara buang angin itu. Tetapi arah suara yang terdengar seruangan itu dari posisi duduk Rajadin.
“Siapa yang buang angin barusan, bau sekali,” tanya seorang raja nagari tetangga. Wajah Rajadin memerah. Dia tak tahu harus menjawab apa. Bau angin itu belum lagi habis. Ada yang tutup hidung dengan tangan, ada dengan pisang. Ada dengan kerah baju safari mahalnya. Kentut Rajadin bau sekali.
“Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, saya tadi yang buang angin, sedari pagi saya sakit perut, sudah ke dokter, tetapi belum sembuh, sekali lagi mohon maaf,” ujar Rajudin, pejabat kepercayaan Rajadin di Badan Perencana Nagari Baren. Keturunan Arab Asia Selatan.
Wajah Rajadin berangsur binar. Keberanian Rajudin mengaku yang buang angin telah menyelamatkan marwah dan mertabat Rajadin di hadapan tetamu agung. Rajadin bisa kembali bangga, heh..heh…. Rajudin menjadi pahlawan bagi marwah Rajadin. Rajudin berhasil menutup aib raja.
Syahdan, tetamu raja berlalu pulang ke kerajaannya. Sehari berselang, Rajudin mendadak dipanggil Rajadin ke meuligoe raja. “Rajudin, kamu selamatkan mertabatku, karena itu kamu saya angkat jadi Ampon dan menjabat sebagai kepala Perencana Nagari,” ujar Rajadin. Rajudin terima padahnya.
Teman saya bilang. Pola yang dilakukan Amat Bheng dan Rajudin adalah pola menjilat kepada raja. Karena itu, mereka layak disebut sebagai penjilat untuk mendapatkan gelar Ampon dan jabatan. Mau menahan malu dan gadaikan harga diri untuk menjaga harga diri Rajadin.
“Menutup keburukan raja, kegagalan raja dengan mengkondisikan pencitraan raja dengan kegiatan aneh termasuk bagian dari aliran penjilat. Raja yang telah menyetujui biaya untuk kegiatan penjilatan adalah lebih ironis dari penjilatan itu sendiri, maka menjilatlah mereka semaunya,” kata teman saya.
Pola yang dilakukan Amat Bheng dan Rajudin. Jika dia seorang Ampon, maka Amat Bheng adalah Ampon Anjing, Rajudin adalah Ampon Kentut. Jika kepala suku maka dia adalah kepala suku anjing dan kepala suku kentut. Kalau seorang pejabat kerajaan nagari maka mereka adalah pejabat anjing dan pejabat kentut.
Mohon maaf kepada para Ampon. Maklum Ampon itu adalah kata gelar yang boleh dipakai semua orang untuk bahan cerita. Belum dimerekkan, bukan punya siapa-siapa. Jadi kesamaan nama gelar dan sebutan dalam tulisan ini bukan disengaja.[]