Seorang rekan menulis pengalamannya naik bus dan MRT di Hongkong. Begini tulisnya:
Saya naik bus hari ini. Di depan duduk sepasang manula, kedua menggunakan jam Rolex emas. Dari jenisnya, dua jam berharga sekitar Rp700 juta-an. Mereka juga mengenakan kalung dan gelang emas, dan cincin berlian, dengan karat besar, yang harganya saya taksir tak kurang dari Rp200 juta.Ikat pinggang si suami merk Luis Vuitton.
Total perhiasan yang mereka pakai berdua mungkin di atas satu milyar rupiah; dan mereka pakai bus, naik dari sekitar pasar tradisional. Hal yang mustahil terjadi di Indonesia. Tak percaya?Coba saja, kalau mau berakhir di kantung sampah sebagai mayat. Minimal dicopetlah atau dirampoklah! Di negeri beradab, mau pamer kekayaan atau menjadi orang biasa saja, sama dihormati oleh komunitas menengah yang humanis dan modern.
Di pasar tempat manula itu naik, saya juga lihat sepasang pemuda pemudi yang berpenampilan anggun dan elegan sedang pacaran sambil menuntun anjing. Anjingnya lalu berak. Lalu si cowok memungut berak anjing itu dengan kertas Koran, yang sengaja ia bawa dari rumah. Aturan di Hongkong, pemilik anjing diharuskan membersihkan kotoran anjing yang dibawanya. Dan aturan ini sudah menyatu ada semua warga HK.
Tak usahlah jauh-jauh, di Kuala Lumpur, naik Rapid atau LRT, selalu tersedia kursi bagi manula, wanita hamil atau disabled. Bila tak ada pengguna kursi tersebut, meski penumpang sesak, berdiri menggayut tiang tengah yangbertali, namun tak ada yang menyentuh kursi kosong tersebut. Moralitas? Peradaban? Iya! Begitulah! Apalagi di Singapura, yang aturan “bermoral” ini lebih ketat lagi.
Tak ada pengawasan, Hukum dan aturan berjalan dengan sendirinya dengan penuh kesadaran. Nyaris tak ada rasa ingin mencurangi aturan. Saya lalu teringat perjalanan ke luar negara ini, yang tak pernah khawatir walau berjalan seorang diri di tengah malam buta. Di Thailand, bahkan ketika negara dan masyarakat menyadari pentingnya turisme sebagai penghasil devisa dan perputaran uang di negerinya, akan memulangkan sebuah dompet anda yang tertinggal di meja makan sebuah restoran paling murah sekalipun!
Saya ingat naik Tuk-Tuk di Hat Yai. Tuk-Tuk Hat Yai hampir mirip labi-labi di kita, tak seperti Tuk-Tuk Bangkok. Kami berempat anak beranak berjalan kaki hingag tersesat ke highway menuju Songklha. Biasanya kami tunggu taksi, seperti di Singapura, atau kota-kota lain di Malaysia dan Vietnam. Namun Hat Yai tak ada taksi. Lalu lewat labi-labi, dengan pengemudi seorang bapak setengah baya. Ia lalu bicara bahasa Thai, tak faham bahasa Inggris. Namun setelah menyebut kata Pasar dan Hotel, iapun mahfum. Lalu begitu tiba, saya coba beri uang 100 baht (sekitar Rp30 ribu, kalau ia protes akan saya beri 100 baht lagi). Eh, ia mengembalikan 20 baht, padahal perjalanan kami cukup jauh dari lokasi tersesat ke pasar. Jauh dekat 20 baht per-orang menjadi standar. Tak ada tipu-tipu atau mencari kesempatan pada “turis yang tersesat”. Moralitas tak dibuat dengan formalitas yang penuh omong kosong, tapi dengan BERBUAT!
Bagaimana di negeri kita?Lampu merah saja diterobos seenak udel, mobil disenggol dengan arogan seolah sepeda motorlah pemilik jalanan, dan mobil milik orang kaya yang harus dirusak! Turis harus diajari sopan santun!Kita ributkan sebuah nama tapi ribut antar sesama, primordial sempit, dan melupakan tugas utama. Unproduktif, konsumtif dan iridengki, khianat. Apalagi? Munafik? Korup? Tak bermalu? Lengkaplah sudah. Mungkin 100 tahun lagi kita akan menyamai negeri yang lebih beradab? Kata saya tidak! Sampai kiamat peradaban kita tak akan berubah, kaum yang terasing dari Asia Tengah, terjerumus arus kodernitas palsu, hedonism, dan tersesat oleh kemalasan di daratan yang sebenarnya makmur. Sungguh sayang, penghuninya….