Saya takzim pada kompanye anti rokok. Tapi sebagai orang yang sudah terlanjur banggi (keenakan, kecanduan alias ketergantungan), saya hormat pada kecerdasan saya dalam hal memanajemen tabiat merokok hingga terus berada pada kecenderungan jumlah konsumsi yang tidak berlebih-lebihan.
Oya, kalau tidak salah, subtansi dari merokok adalah untuk memenuhi hajatan pada kebutuhan akan nikotin untuk membuat saraf berpikir rileks. Bukankah begitu? Jika demikian tembakau sugi juga dapat berfungsi sama. Dia juga menyuplai dikotin ke dalam saraf si korban, eh, si konsumen sama cepatnya dengan hisapan asap bakaran tembau (rokok) yang menurut orang, karena proses pembakaran itu, rokok lebih banyak mengandung unsur kimiawi yang membayahan paru-paru.
Tapi memang tidak begitu, tidak begitu sama. Tembakau sugi, walau ada nikotin tapi tak ada asap. Sedangkan asap, di samping berfugsi sebagai media penghantar nikotin juga dapat melalaikan keasyikan. Dua unsur penting yang berperan setara pada sebatang rokok adalah nikotin dan asap.
O, ya, tiap sore, kumpulan daun-daun kering yang disapu dari sekeliling rumah nenek kita di kampung-kampung, saat dibakar juga mengeluarkan asap yang bertebaran bahkan ke sebagian antero desa. Begitu juga asap-asap hasil bakaran dedaunan kering dari halaman-halaman rumah yang lain.
Pendek kata, aroma kampung kita tiap sore identik dengan kehangatan dari bebauan yang berlatar belakang semangat kebersihan. Tetapi pada asap yang bertebaran ke segenap lekuk lorong dan langit-langit atmosfir desa tiap sore itu tidak mengandung nikotin, ya, kan?
Agaknya orang memang menyukai bau yang campur-baur beragam dedaunan yang terbakar yang seakan-akan bagai menebar gairah kehidupan yang selalu diperbaharui melalui proses penguraian yang terus-menerus via pembakaran karena memang daun-daun selalu tumbuh, dan merindang, dan layu, dan jatuh, dan mengering, dan menyemak, dan diurai lewat pembakaran; sementara di belakang itu daun-daun di pohon itu juga terus tumbuh lagi, merindang lagi, layu lagi, jatuh lagi, mengering lagi, menyemak lagi, dan harus diurai lewat prosesi pembakaran lagi. Begitulah terus-menerus bagai makna dari dinamika kehidupan itu sendiri.
Aduh, sudah sampai di mana ini? Tadi kita bicara masalah rokok, bukan? Ya, sudah, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya takzim pada kompanye anti rokok. Tapi sebagai orang yang sudah terlanjur banggi, saya hormat pada kecerdasan saya dalam hal memanajemen tabiat merokok hingga terus berada pada kecenderungan jumlah konsumsi yang tidak berlebih-lebihan.
Hendaknya bagi si banggi, begitulah sebaiknya. Dan bagi yang belum pernah merokok samasekali saya ingin sharing bahwa seyogianya jangan pernah mencoba, karena merokok tidak penting bagi si paru-paru bersih.
Sementara bagi yang sudah pernah banggi dan kini sudah berhasil memutuskan tali ketergantungan pada rokok, saya sepenuh jiwa menabek anda. Lagi pula bagi anda yang, jika merokok, cenderung diperbudak rokok, lebih baik memang berhenti merokok. Saya yakin, anda sependapat.
Dan lantaran anda sudah berhasil berhenti merokok, sepenuh kekaguman saya mengucapkan: selamat. Anda tergolong manusia sukses melakukan hal besar.■