Cara orang Aceh mengejek penguasanya yang lalai adalah amat santun. Namun jelas pedihnya minta ampun. Bila ternyata ada juga yang tak mempan, itu berarti penguasa tersebut benar-benar bebal dan rabun.
Maka pada hari di mana para tamu asing disodori wajah-wajah ramah kita, mereka pun baru berani bertanya, kenapa orang Aceh punya kebiasaan menanam pisang di jalan.
Lantas kita pun menjawab bahwa pada dasarnya menanam pisang di jalan umum tidak ada dalam khasanah perilaku masyarakat Aceh. Yang ada hanya menanam padi. Dan itu adalah ungkapan versi santun khas keseharian orang Aceh yang tengah beurigen dengan kondisi rangka dasar fasilitas umum di kampungnya dalam hal menyindir perilaku abai pemegang otoritas tanggung jawab kemaslahatan kehidupan publik yang dalam hal ini adalah penguasa.
Jadi cara orang Aceh mengejek penguasanya yang lalai ternyata sangat santun, bukan? Tapi pedihnya minta ampun, ya, kan? Hanya penguasa yang benar-benar bebal dan rabun yang tak mempan dengan gaya kritik macam itu, setuju?
Lantas kenapa alat satir itu kini berubah dari tanaman padi ke tanaman pisang? Oo, padi belum tentu ada sepanjang musim. Batang pisang ada setiap saat. Lagi pun ciri khas jalan berkondisi buruk saat ini belum tentu dalam wujud becek-berlumpur sebagaimana zaman dulu.
Sekarang yang namanya jalan-buruk lebih kerap berupa kondisi lapisan aspal yang terkelupas atau berlubang. Jadi pergantian vektor dari padi ke pisang memang sesuai fakta material zamannya.
Alkisah tersebutlah bahwa kita demikian bergairah bercerita pada tetamu yang mana memacang tanaman di jalan becek awalnya hanya ada dalam bahasa, bukan tindakan, yakni dalam ungkapan satir khas kita.
Sering terdengar dalam dialog, bila ada pertanyaan, “Kriban keadaan jalan jak u Paloh Meuria saat nyoe?” Jawab, “Kajeut taseumula.” (secara harfiah bermakna: sudah bisa kita tanami sesuatu. Arti sesungguhnya: sudah bisa kita tanami padi). Jadi mulanya, dalam ungkapan satir itu pun tidak ada yang namanya, “Kajeuet tapula pisang.” Yang ada hanya, “Kajeuet taseumula.” Yaitu, menanam padi.
Jawaban, “Kajeuet taseumula.” (sudah bisa kita tanami padi) itu pun bukan jawaban dalam arti kata yang sesungguhnya. Dia hanya ungkapan satir. Bermakna, saking buruknya kondisi jalan yang dimaksud, hingga dia disamakan dengan kondisi tanah sawah yang sudah demikian matang untuk ditanami padi. Thesis itulah yang kemudian menjadi praksis.
Jadi cara orang Aceh mengejek penguasanya yang lalai ternyata sangat santun, bukan? Tapi pedihnya minta ampun, ya, kan? Hanya penguasa yang benar-benar bebal dan rabun yang tak mempan dengan gaya kritik macam itu, setuju?
Nah, kemarin pemimpin tertinggi kami, sejak di dini-tahun begini sudah mewanti-wanti segenap jajarannya bahwa sepanjang 2011 hingga seterusnya Aceh sudah harus bebas dari tanaman pisang di jalan-jalan umum bahkan sampai ke lorong-lorong di Paloh Meuria, Muara Satu.
Ya, itu karena sang pemimpin benar-benar orang Aceh yang memahami betul bahasa ibu dan “kepedihan” gaya satir versi kami.[]
harap kepada kawan2, posting di canag panah bila sudah dimuat di edisi cetak, rasanya akan lebih tertib, sekian terima kasih
Ya. Ajakan inspiratif. Yang penting, Cang.
@ Bang Murdeli
Mulai 2011 Insyaallah akan update selalu…
@ Bang Mus memang mantap…
Ehm…!