“Apa itu?”.
“Pliek U, Tuan!”
Dialog yang selalu menjadi bahan tertawaan bagi kami saat diceritakan kembali oleh Makcik dan Nyakwa, di bawah rumah Aceh kami yang besar. Saat itu–saya masih kecil–tidak bisa atau setidaknya belum bisa membayangkan keadaan yang mungkin sebenarnya terjadi.
Konon, dialog itu terjadi tahun 1930-an, saat seorang komandan pasukan Belanda memasuki desa. Melihat kaum perempuan sedang membuat minyak dari kelapa, dengan bungkih kelapa yang dijemur, lalu dijepit dalam “klah” dan dijemur lagi sehingga menjadi Pliek U. Tanpa perlu memastikan apakah peristiwa itu pernah terjadi, hanya bahan lelucon, atau apakah saat itu dalam keadaan terjajah atau dikuasai. Tak soal. Saya hanya ingin menceritakan ada nilai kebanggaan, di samping rasa humoresk dari hasil cerita itu.
Humoresk, karena para Makcik atau Nyakwa menganggap betapa lucunya si bule yang “bodoh”, tidak tahu Pliek U. Apalagi, cara membuatnya dengan “teknologi yang hebat” orang Aceh, paling tidak menurut Makcik waktu itu.
Bangga karena orang Aceh telah memiliki cara tersendiri menghidupi keluarganya, membuat minyak sendiri untuk bahan membuat penganannya. “Dan Pliek U itu enak, Belanda tidak tahu… ha…. ha…” ujar si Makcik, entah menertawakan si bule atau dirinya sendiri.
Di sebalik itu, seolah tidak ada keterjajahan atau pemaksaan dari si Belanda, karena si Makcik menjawabnya sambil tersenyum sipu. Ia “bahagia” menerima tamu asing bule yang gagah. Itu bayangan saya. Setidaknya “bahagia” menerima tamu bule telah kembali tercermin di zaman ini, khususnya pascatsunami. Bahkan, sebagian orang telah sedemikian tergila-gila dengan budaya bule dan terkadang lebih merasa bule dari si bule sendiri.
“Ayo kita makan di …,”
“Ayo kita dugem bareng si bule dari lembaga anu…”
“Saya biasa makan ini itu sama si bule negara anu…,”
Dan seterusnya menceritakan betapa dia, si Inlander, seolah sudah akrab benar dengan budaya dan makanan ala kuliner Barat.
Pliek U tentu sudah teramat kuno bagi mereka. Apalagi bila mereka benar benar menerima “kebahagiaan” lain dalam bentuk materi dari si bule.
Zaman ini, yang saya lihat sendiri tidak ada kebanggaan, apalagi kelucuan yang lugu dari hubungan timur barat ini. Akibatnya, makna bahagia tidak sejajar dengan moralitas–dari kebanggaan– tu tadi. Dulu, betapa bangganya Makcik saya menjawab si Belanda tanpa mengharap sesuatu. Betapa bangganya ia berhasil berjuang sendiri membuat Pliek U, mencicipi hasil kerjanya sendiri, tanpa perlu “menyembah” si Belanda. Ia punya harga diri, punya etos kerja, dan punya sesuatu untuk berkata, “Kami bisa hidup tanpa kamu. Kami bahkan lebih maju dari kamu, setidaknya dalam pengolahan kelapa menjadi minyak dan pliek ue,”.
Ia hanya kagum karena tampang dan kulit si bule yang gagah dan cantik. Tapi, makcik dan warga desa para pembuat Pliek U itu penuh percaya diri dan selalu merasa bermartabat, karena tidak pernah meminta-minta. Mereka membuat “klah” sendiri, memiliki “teknologi” sendiri, memiliki sesuatu yang berharga bagi hidup mereka sendiri. Apa yang kita punya sekarang?”
“Tuan mau kuah pliek?” tawar mereka untuk si Belanda sambil tersenyum, penuh percaya diri tanpa merasa “terjajah”.
Hari ini, kita tidak mampu menawarkan sesuatu, bahkan sebongkah Pliek U yang murni tidak lagi kita punya. Kita hanya menerima. Herannya, bahkan berbangga diri bila bisa “berteman” dengan si bule. Di sebalik itu, banyak saya tangkap kegusaran hingga cerita-cerita si bule yang “lucu” tentang kita. Kalau begitu, apakah dulu kita terjajah oleh si bule Belanda “yang kejam” atau sekarang oleh bule-bule baru yang begitu “pemurah”? Khususnya, bila “terjajah” itu berkaitan dengan martabat dan harga diri![]