Porsi Pas

SEANDAINYA lembu memiliki semangat inovasi kuliner, barangkali kini pakannya bukan lagi rumput, tetapi boleh yang lain yang sudah mengalami sentuhan proses rekayasa pengumpanan kendati bahan bakunya masih tetap rumput, daun-daunan atau dedak padi.

Tidak sebagaimana manusia dengan nasi, roti dan berbagai lauk-pauknya. Padahal di zaman batu, searif-arifnya manusia, mereka cuma mengkonsumsi daging hasil buruan dan buah-buahan hasil pengadaan ekologis, bukan budidaya.

Sekarang tingkat variasi dan kemajuan di ranah pakan sekunder manusia malah sudah sampai ke taraf di mana sekerat bengkang, misalnya, itu adalah hasil paduan berbagai kearifan teknologi hasil penemuan para inovator dalam jangka waktu berpuluh-puluh tahun.

Misalnya saja teknologi yang berada di belakang keberadaan tepung terigu, tepung beras, gula pasir; minyak pisang, vanili dan lain-lain yang merupakan bahan dasar pembuatan bengkang; terus sampai ke proses pengadonan dan pengapiannya hingga sang bengkang terlentang manis di meja makan.

Tetapi lembu adalah binatang. Sebagaimana alam memfatwakan aturan hidup bagi mereka sejak azali, begitulah yang mereka lakoni tanpa inovasi apa pun yang bersumber dari kreativitas berpikir karena mereka memang tidak menjalani hidup berdasarkan hasil olah pikiran tetapi dengan naluri dan itu dipastikan akan terbawa sampai akhir riwayat kehidupan mereka kelak.

Paling-paling yang berubah, dan ini pun hasil pengubahan manusia, adalah tempat di mana dan bagaimananya seekor lembu merumput. Umumnya hewan pemilik daging andalan konsumsi manusia itu merumput secara alamiah di areal tanah yang ada tumbuhan rumputnya. Selebihnya bagi lembu yang diharapkan pertumbuhannya secara khusus, ia diperlihara di dalam kandang.

Pengandangan tidak lagi membuat sang lembu merumput di areal tanah yang bertumbuhan rumput. Tetapi di sini mereka hanya mengonsumsi rumput hasil sabetan pemeliharanya.

Yang ingin dikatakan di sini, pada umumnya para petani dan sekaligus juga peternak di kampung-kampung di Nanggroe, memotong rumput untuk pakan lembu yang dikandangkan yang biasanya dilakukan pada sore hari adalah: hasil potongan itu dikumpulkan dalam keranjang rumput atau populer disebut, raga naleueng.

Tapi, sebentar dulu, sekarang sudah jarang orang memakai raga naleueng untuk membawa pulang rumput hasil potongan ke rumah atau kendang lembu. Padahal raga naleueng merupakan batasan porsi tetap sejumlah rumput yang harus dikonsumsi seekor lembu dari sore hingga esok pagi. Tidak boleh kurang dan tidak mungkin lebih.

Seorang peternak yang mencari rumput dengan membawa wadah penampung raga naleueng, tidak mungkin membawa pulang rumput dengan jumlah yang kurang dari muatan sekeranjang penuh.

Raga naleueng merupakan keranjang yang dirajut dengan pola jaring dengan bahan dari tali nilon atau daun kelapa. Jarak rajutannya jarang-jarang atau sekira sejengkal per mata rajutan. Dibentuk bulat seukuran serangkulan lebih dua lengan lelaki dewasa.

Jadi apabila jumlah rumput yang diisi ke dalam keranjang tersebut tidak padat-penuh, maka ketika dibawa atau diangkut, potongan rumput akan jatuh berceceran keluar dari lobang-lobang rajutan. Kalau dipanggul di atas kepala, maka kepala akan bulat-bulat masuk ke dalam raga.

Pada raga naleueng memiliki ketentuan, aturan dan filosofi serta komitmen ketat seorang peternak kendati hanya terhadap binatang peliharaannya. Yaitu, memberi pakan binatang yang dikurung jangan hanya sesuka-suka ukuran seenaknya, tetapi harus berkecukupan.

Tetapi bayangkan jika seperti fenomena selama ini. Peternak yang memotong rumput di areal perladangan, tepian sawah atau kebun-kebun di kampung membawa pulang hasil potongan dengan karung goni, karung terpal atau karung-karung lainnya yang bukan raga naleueng.

Sehingga, isinya bisa sesuka-suka. Karena kalaupun rumput dipotong sedikit, tetap bisa dikarungkan dan dibawa. Maka jadilah, sore ini potong banyak karena sang peternak lagi suka hati dan enak nasi. Esoknya potong sedikit karena kebetulan hati lagi mendongkol sama orang rumah. Sang peliharaan pun jadinya, ya, lapar-kenyang-lapar-kenyang menurut enak-tak enak benak tuannya; bukan makan menurut porsi pas sesuai ukuran dia.

Kata orang-orang bijak kita, andai pun sekarang penggunaan raga naleueng sudah jarang untuk wadah potongan rumput pakan ternak terutama pada petani-petani pemilik lembu di kampung-kampung, namun kalau filosofi yang melekat pada raga naleueng tetap diapresiasikan terutama oleh pemimpin-pemimpin kita, pasti orang Aceh akan gemuk-gemuk.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.