AULIA, anak seorang warga biasa di kabupaten tetangga Bireuen, kalau tidak salah Lhokseumawe nama kotanya. Dia jarang mengeluh. Sekolah rajin dan pandai. Tiap semester rangking pertama. Dari kelas satu sekarang kelas tiga. Minimal ia rangking dua. Tetapi dia hari itu bukan Aulia seperti biasanya.
Wajahnya kuyu, sedih. Tak biasa seperti itu. Tas sekolah dilempar dekat pintu ruang depan. Biasanya tas diletakkan di dekat rak buku. Aulia duduk di tangga rumah terbuat dari semen. Ada enam anak tangganya. Aulia duduk di tangga tiga. Masih bersepatu. Seragam pun belum diganti.
“Kenapa Aulia?,” tanya ibunya. Aulia yang berusia sembilan tahun itu diam. Tak menoleh pun. Ibunya penasaran. “Kenapa?” ibunya mengulang. Aulia tak menoleh. Ibunya ragu. Lalu mendekat kepada anak ketiganya itu. Yang tertunduk. Aulia menangis.
“Ibu, saya tak dapat sepeda juga tidak apa-apa, yang penting nilai Aulia tidak dikurangi guru, kalau tidak rangking satu, rangking tiga juga tidak apa,” Aulia mengadu kepada ibunya. Ia mengatakan tidak dapat sepeda tidak apa. “Aulia sudah punya sepeda, biar sepeda untuk anak lain saja,” lirihnya.
Aulia anak pintar. Dari kelas satu rangking pertama. Saking pintarnya. Di sekolah bertingkat di kota petro dolar itu, ia sering diminta bantu gurunya ikut memeriksa jawaban anak sekelasnya. Seperti lepas ujian kemarin. Beberapa hari pulang terlambat karena membantu gurunya.
Selidik punya selidik. Ternyata pada semester itu. Di sekolah bertingkat itu. Murid yang mendapat rangking satu hingga lima. Pihak sekolah menyediakan hadiah sepeda baru. Kebijakan itu hasil musyawarah guru dan kepala sekolah, ibu Mus, demikian nama kepala sekolah itu biasa disapa.
Alkisah, pada rapor yang dibagikan usai ujian semester. Aulia hanya berada di rangking enam. Konon Aulia di-setting di posisi enam. Hanya agar dia tidak dapat sepeda baru. Maklum. Kabar berkembang Aulia sebenarnya rangking satu. Tetapi tergusur bukan karena mendadak bodoh.
Bukan pula karena ada murid yang punya familinya di sekolah itu, atau murid yang ibu kandungnya guru di sekolah itu mendadak pandai, dulunya rangking belasan, mendadak berjejer rangking satu hingga lima. Berat kecurigaan. Aulia mendadak rangking enam karena ada hadiah sepeda. Yang dapat sepeda nyaris semua anaknya guru setempat.
“Aulia tahu, Aulia sengaja ditaruh di rangking enam agar tidak dapat sepeda. Tidak usah lah Aulia dikasih sepeda baru oleh sekolah. Kan Aulia sudah punya sepeda,” Aulia menangis sambil terus mengadu kepada ibunya. Kedua abangnya yang baru pulang turut sedih. Adiknya diperlakukan tidak adil. Oleh guru sendiri.
Cerita singkat di atas mencerminkan betapa rendahnya sudah moral kita. Terlebih kalangan guru di sekolah itu. Yang rela meroketkan nilai anak-anak mereka agar dapat rangking supaya dapat sepeda baru. Nilai murid dimanipulasi. Memang sulit dibuktikan. Tetapi itu contoh buruk yang jelas tidak dapat dicontoh murid.
Kisah di atas adalah setengah fiksi, kalau ada kesamaan nama dan alamat itu hasil reka-reka penulis dari setengah kisah nyata. Jika ada yang marah. Marahlah sama saya yang menulis ini. Saya berharap guru di sekolah sadar. Bukan hanya mengajari murid dengan ilmu, tetapi memberi contoh moral dan akhlak mulia.
Jangan pertontonkan anak sekecil itu dengan rekayasa dan manipulasi. Jangan bunuh semangat belajar anak itu untuk kepentingan sesaat. Sepeda baru untuk murid yang anak kandung. Takutnya Aulia akan menganggap, gurunya tukang tipu. Tidak salah jika nantinya ditiru. Kalau semua seperti ini, apa yang akan terjadi?[]
Waduh…brengsek dan bangsat sekali guru2 macam itu, seharusnya guru mengajar sekaligus mendidik, tapi yang terjadi sebaliknya. Memang kebanyakan yang menjadi guru bukan orang yang patut menjadi guru. Banyak kawan2 yg wktu sekolah agak rada bego, bandel, eh…sekarang malah jadi guru. Memang jadi guru sekarang bukan panggilan jiwa, tapi panggilan ekonomi. Untuk guru2 yang disebut pada artikel di atas…kalian adalah orang2 brengsek.