Semut-semut kecil. Datang bagai air mengalir: deras, teratur dan rapi. Mereka tidak berebutan untuk mendahului dan menjadi yang terdepan. Mereka juga mengikuti jalur yang sudah dicetus semut yang jalannya paling depan. Mereka juga tak pernah berkelahi di jalanan. Saat waktunya harus berhenti, mereka berhenti. Saat waktunya maju, mereka maju. Andai pada mereka berlaku rambu-rambu lalulintas, mereka akan berhenti saat merah dan maju saat hijau menyala. Kompak dan disiplin.
Semut-semut kecil. Mereka tak pernah lelah untuk mencapai tujuan. Semangat mereka menggebu-gebu untuk membawa semisal secomot roti, sebutir remah (ampas beras), atau benda yang mengandung glokusa (zat manis) lainnya. Ketika tiba di tujuan, mereka mengambil jatah masing-masing. Tak kuasa mengangkat sendiri, mereka membawa bersama. Secomot roti kadang harus sepuluh semut, terkadang selusin semut untuk mengangkut sebutir remah. Andai mereka berlaku gotong royong rutin atau bakti sosial, sungguh amat sosial mereka itu.
Semut-semut kecil. Pulang membawa makananan ke sarang bersama-sama. Ketika pulang berjumpa dengan semut-semut yang baru datang, mereka (seperti) bersalaman. Kemudian (seperti) berkata, “besok lebih telat lagi bangun tidurnya”. Dengan tersipu semut yang datang terlambat itu merangkak pergi menuju sumber makanan. Semut-semut kecil tadi kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, mereka menemukan capung berwarna kuning yang sedang tergelepar-gelepar hendak mati. Semut-semut kecil itu pun mendekati dengan kagum. Lalu mereka bersepakat untuk menggigit capung itu bersama-sama sampai capung itu mati. Setelah itu mereka makan bareng capung itu. Dan sisanya mereka usung bersama untuk dibawa pulang ke sarang yang sudah ditunggu anak-anak mereka.
Tak lama setelah mengusung capung, tiba-tiba air sebesar capung jatuh berdentam ke hadapan mereka. Semut-semut kecil itu menengadah, dilihatnya di atas mereka hitam legam semua. Dan air itu jatuh lagi. Semut-semut kecil itu terpental ketika bulir-bulir air itu ramai-ramai menjatuhkan diri ke hadapan mereka. Ketika mereka lagi mencoba bangkit, tiba-tiba tapak manusia mendarat ke tubuh mereka. Gelap. Lalu terang lagi dan masih bisa bernafas. Sedetik kemudian, sekali lagi tapak manusia mendarat ke tubuh mereka. Dan gelap. Semut-semut kecil itu tak bangkit lagi. Mereka mati. Anak-anak mereka di sarang tak tahu kalau sang induk yang lagi membawa makanan buat mereka telah mati dalam perjalanan pulang.
Beberapa menit kemudian, tampaklah semut yang tadi datang terlambat. Ia mengusung sebutir remah. Ia terkejut saat melihat semut-semut kecil itu sudah kaku dan berserakan di samping remah, roti, dan capung. Antara berkabung dan senang. Membawa pulang semua makanan, atau, membawa pulang semua kawan-kawannya yang telah mati untuk ditampakkan pada anak-anak mereka biar tidak penasaran. Semut itu gamang. Ia berkata, “untung saya datang terlambat.” Tapi ia harus berlama-lama di sana. Tak tahu mana dulu yang harus ia lakukan. Ia sedang menghadapi pilihan sekarang.
Akhirnya semut itu memutuskan untuk pulang tanpa membawa salah satunya. Ia hanya pulang dengan mengusung sebutir remah. Setiba di sarang, diceritakannya pada anak-anak semut, bahwa induk mereka sudah mati. Mendengar cerita itu, anak segala anak dari semut-semut tadi menangis meronta-ronta hingga berhari-hari lamanya. Dan itu membuat semut yang dating terlambat tadi tak tahan.
Ia stres. Hingga suatu kali, ia meninggalkan anak-anak kawannya itu. Ia pergi ke rumah manusia. Ia menuju meja makan. Targetnya teh manis. Ia menaiki gelas yang berisi teh manis yang sudah dingin. Ia berhenti di bibir air teh yang melingkari gelas bening. Setelah mencicipi sekali, ia masuk ke dalam genangan teh itu hingga ia tenggelam dan mati terapung di sana. Tak begitu lama, seorang anak manusia menyeruput teh itu beserta sang semut.
(Dimuat 20 Januari 2011)