Seumantok dan Meranti

SAYA adalah sarjana pertanian tamatan fakultas pertanian universitas paling bergengsi di negeri ini. Tapi peruntungan kehidupan tidak mengantarkan saya ke balik meja pegawai negeri sipil di dinas pertanian.

Yah, sudahlah. Nasib bukan untuk disesali atau dibanggakan. Nasib adalah untuk dicerna dan diinterpretasi. Nasib, apapun warnanya, adalah bandar landasan untuk pesawat udara milik saya take of ke angkasa mana pun yang saya suka.

Saya sudah berusaha untuk masuk PNS sebagaimana tujuan akhir pada umumnya orang-orang muda tamat kuliah di negeri saya yang masih memegang prinsip peninggalan kaum elit zaman kolonialisme yang seakan-akan hanya pegawai negerilah yang mampu memberi jaminan hidup dan kesejahteraan sampai tua dengan gaji pensiun. Namun saya tidak lulus. Ya, sudah, semesta tidak mentakdirkan saya di situ.

Sekarang saya akrab dengan dunia pertanian sebagaimana latar belakang kesarjanaan saya. Di samping bertani, sekarang saya mulai mengembangkan usaha pembibitan jati super. Bibit jati itu saya beli dari daerah tetangga yang sudah lebih dulu membudaya dengan usaha penanaman pohon tersebut dengan harga Rp50 ribu per ikat. Dalam satu ikat berisi 100 batang bibit jati super. Di kebun saya seluas setengah hektar, jati itu saya urus sampai berumur satu bulan hingga harga jualnya menjadi Rp5000 sampai Rp7000 per batang.

Masa panen jati super bisa mencapai 8 hingga 10 tahun. Dalam masa ini, sebatang pohon jati sudah mencapai harga Rp1 juta per batang. Tapi itu harga jati di Aceh. Murah, lantaran di Aceh masih banyak persediaan kayu lain seperti seumantok dan meranti. Kalau di daerah lain sebatang pohon jati bisa berharga satu setengah hingga dua juta per batang.

Orang menanam pohon jati umumnya sebagai investasi jangka panjang. Daripada mendepositokan uang, bagi saya lebih baik menanam jati super. Dan menanam jati super, di samping menguntungkan secara ekonomi, maka dari segi ekosistem, ia dapat meminimalisir orang untuk menebang pohon-pohon hutan untuk merakit perabot-perabot rumah tangga berbahan baku kayu keras.

Namun kembali ke soal harga, sebatang jati super yang sudah berumur 8 hingga 10 tahun berharga Rp1 juta per batang. Tapi itu harga jati di Aceh. Murah, bukan? Nah, itu lantaran di Aceh masih banyak persediaan kayu jenis keras lain seperti seumantok dan meranti yang ditebang dari seluruh kawasan hutan Nanggroe.

Artinya, di Aceh masih berlaku prinsip, terutama di kalangan orang-orang berpunya dan pejabat-pejabat tinggi, bahwa gunung boleh gundul, rimba boleh phak-luyak dan ekosistem boleh terganggu, yang penting lemari perabot dan sice di rumahku terbuat dari seumantok dan meranti.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.