Tersebut kisah nanggro lon sayang, Aceh yang awalnya bermakna Aci. Dalam bahasa kleng artinya cantik, bagaikan sang gadis nan rupawan. Kini jadilah ia Seuramo Mekkah amatlah terkenal di Nusantara, bahkan seantero dunia. Negeri dijunjung, raja didaulat, berganti rupa jadilah ia bagian Indonesia dalam proklamasi 1945.
Prediket diberi lewat kejuangan, tersebutlah ia Daerah Istimewa, dalam agama, pendidikan dan adat istiadat. Tapi sungguhlah sayang, semua itu hanya cek kosong politik belaka, sebuah tipu daya politik di papen ateuh.
Kejuangan berlanjut menuntut hak agar istimewa diberikan nyata. Lalu pejuang muda menuntut hak, hasil migas ada keadilan. Janganlah Aceh yang punya susu, Jakarta yang punya nama dan pundi-pundi dolar.
Kejuangan berlanjut membangun Aceh, lewat Syariat Islam yang berlaku sudah. Lewat Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki, Eropa sana, kesepakatan dibuat mendayu-dayu. Ada namanya calon independen, ada pula partai lokal.
Nasib sang partai harus verifikasi, disaring Jakarta, apakah layak untuk bertanding. Tapi sang Parlok, begitu akronimnya, cuma berwenang atur Aceh di tingkat kabupaten kota dan provinsi. Sedangkan DPR RI diatur saja oleh partai nasional yang punya kuasa. Sungguh bangai geutanyo Aceh, sudah dipecundang lagi cek kosong gaya baru.
Di tataran hukum dan Syariat Islam, kulihat Ka’bah lagi dicuci. Kulihat Aceh yang Seuramo Mekkah, sedang berbenah dalam banyak hal. Kubaca koran dan tabloid saban terbit, ada kisah bintang pruno, eh porno Abdya terkena vonis hukum cambuk. Ema, sang bintang perempuan, tak mau kalah dengan Maria Eva si penyanyi dangdut, adegan mesum dividiokan dalam ponsel. Ia divonis cambuk bersama Darwis Dareh. Krue seumangat malee lagoina, buet durjana ka bak aneuk nanggroe. Apalah daya, tangan mencincang, bahu memikul.
Foto adegan mesum dimuat dalam tabloid lokal, tak ada protes dari Majelis Pertimbangan Ulama (MPU) dan dara dari Aceh.
Apakah kita perlu mencuci diri bak Ka’bah yang sudah dimandikan?
Alkisah tsunami melanda nanggroe, buet maksiet meuraja lela.
Geulante tak jiteuka, anak negeri petani miskin terkapar di Samalanga. Sang petani Abdullah Andib ka inna lillahi …
Bala jiteuka han pioh-pioh, kapan berhenti sang raja bencana?
Ketika bala gempa dan tsunami menerjang, banyak anak negeri ramaikan masjid. Penuh sesak tak cukup tempat. Buku tuntunan salat, tuntunan doa, laris manis bak kacang goreng. Habis bencana, lupalah sudah, maksiat datang silih berganti.
Bila begini adanya, layakkah kita menuntut istimewa? Ketika tiba di Jakarta sana, Aceh dijuluki Serambi Ganja.
Ikhwal ganja yang mengganjal hati dan pikiran, carikan solusi yang paling tepat. Supaya Aceh tak lagi dijuluki negeri Serambi Ganja …
Seunut saja si gam bakong yang suka bikin perkara dan malukan Aceh di Nusantara dan donya. Lebih dari itu ciptakanlah lapangan kerja baru.
Ehno keueh mantong haba uronyo, pulang pike bak dron nyo mandum. Salem ulon Dokaha yang peneuk that eleme.[]