Tiba tiba, beberapa pesawat tempur Belanda mengejar Dakota itu, dan.. astaga..! Mereka menembaki pesawat penumpang itu. “Kami ditembak…kami ditembak!” teriak pilot Air India. Namun, hanya beberapa saat, Dakota bermesin turboprop itu terhempas di persawahan dan menewaskan kesembilan awak dan penumpangnya. Tentu saja pemerintah India sangat berang, diikuti Pakistan, Thailand, dan negara negara lain di Asia mengecam keras pemerintah Belanda.
Menurut Reuters, pilot Belanda memberi laporan ke pemerintahnya bahwa Dakota itu menabrak pohon, dan jatuh di hutan ketika hendak mencoba mendarat. Padahal, fakta menunjukkan, Dakota jatuh di tengah persawahan dan saat dalam perjalanan ke India Selatan, bukannya hendak mendarat. Begitulah politik tipu muslihat ketika perang.
Mengapa Belanda berbuat seperti itu? Ini berkaitan dengan perang Belanda dengan Pemerintah dan rakyat Repoeblik Indonesia. “Pemerintah kami melarang pesawat Belanda mendarat di semua pelabuhan udara kami. Tidak adalagi KLM ke India,” ujar menlu India. Ini yang membuat Belanda kesal.
Pakistan bahkan lebih keras, “Pesawat Belanda dilarang terbang di atas udara wilayah kami!” ujar menteri luarnegerinya. Siam (Thailand), pada saat yang sama berniat melarang KLM mendarat di bandara Bangkok. Saat itu, Juli tahun 1947, ada tiga kali penerbangan KLM satu minggu ke Bangkok. “Kita harus bantu perjuangan rakyat Indonesia,” begitu kesepakatan ke tiga negara Asia itu.
Ajakan ini diikuti hampir semua negara Asia, kecuali Jepang yang sudah kalah perang. Betapa kuatnya solidaritas sesama Asia waktu itu. Sayang, “penjajahan” ekonomi dan gaya kapitalisme yang dibawa barat, akhirnya berhasil menghancurkan sendi-sendi persatuan Asia. Bahkan, bukan hanya itu, tampak berhasil pula menghancurkan persatuan kita, kekerabatan kita, rasa saling tolong menolong di antara kita sendiri.
Penyakit haus materialisme dan modernisme telah membangkitkan kembali sifat dasar dengki, khianat, dan saling menghancurkan di antara kita sendiri. Bahkan, solidaritas tsunami yang dibangun sebagian masyarakat dunia yang masih ikhlas, kita sia siakan. Seharusnya, ini menjadi awal kebangkitan rasa solidaritas dan semangat kebersamaan baru.
Tapi cobalah lihat, setan materialisme telah menghancurkan sifat ketimuran dan rasa kemanusiaan kita. Masihkah ada Asia, Indonesia, bila Aceh saja terpecah-belah oleh ego dan keinginan untuk saling menguasai? Sia-sia solidaritas Asia di masa lalu? Sia-sia solidaritas tsunami? Entahlah…[]