BIASANYA orang akan mengerumuni artis atau selebriti untuk berebut tanda tangan. Wajar. Tapi aneh rasanya apa yang dialami Jailani. Untuk meminta tanda tangan pada Penasehat Akademik (PA)-nya, ia dan kawan-kawan harus mempresentasikan lima buku yang telah mereka baca terlebih dahulu. Kalau tidak, maka tak dapat tanda tangan. Aneh. Tapi berkualitas dilihat dari caranya. Apalagi dosennya itu sudah mendapat “dr” di depan namanya. S3 di luar negeri. Namun, cara yang terasa baru dan terasa seperti tiba-tiba saja di negerinya itu sungguh memberatkan bagi Jailani dan kawan-kawan.
Kemarin, Jailani baru saja mengambil Kartu Hasil Studi (KHS) dan Kartu Rencana Studi (KRS) untuk semester 4. Ia hendak meminta tanda tangan pada PA-nya sebelum dikembalikan kepada Akademik, Biro, dan PA itu sendiri. Hebbat nama lengkap sang PA. Menjadi dr Hebbat MA ketika disebutkan gelar. Sesuai janji pada semester sebelumnya, semester 3, saat meminta tanda tangan juga, mahasiswa yang PA-nya Pak Hebbat harus mempresentasikan lima buku bacaan mengenai mata kuliah yang diambilnya. Presentasinya dilakukan ketika meminta tanda tangan untuk semester depan ini.
Kemarin, acara itu digelar di tempat terbuka. Depan biro fakultas. Berhadapan dengan kantin dan jalan. Belasan mahasiswa duduk melingkari Pak Hebbat. “Biar orang tahu, inilah cara yang bagus untuk mendidik mahasiswa,” kata PA. “Apa enggak ada cara lain?” Jailani bertanya dalam hati. Lalu acara dimulai dari yang duduk paling kiri. PA ingin melihat satu-satu mahasiswanya apakah bisa menunaikan janji.
Tiba giliran Jailani, mulanya, saat mempresentasikan buku pertama, ia mendapat sambutan luar biasa dari PA. Saat ia menjelaskan sebuah buku dengan santai dan berisi, sang PA angguk-angguk dan PA berkata, “contoh kek dia nih, dengan gagah menjelaskan.” PA mengatakan begitu, karena sebelum Jailani, beberapa mahasiswa tak bisa menunaikan janjinya. Paling banyak hanya mempresentasikan 3 buku. Lalu yang menjelaskan dua buku, apalagi satu buku, diberi hutang lagi sama PA. Mereka, mungkin juga Jailani nanti, harus mempresentasikan lagi dua buku sebulan kemudian, walau tanda tangan tetap diberikan juga akhirnya.
Di pertengahan Jailani menjelaskan buku yang kedua, ia sempat salah penjelasan. Entah lupa entah kenapa. Sepertinya ia lupa apa yang harus dikatakan ketika berkali-kali ditohok dengan pertanyaan yang sama oleh PA, sebab, sebelumnya ia mengatakan pada PA bahwa ia sering lupa akhir-akhir ini akibat kelelahan dan sering begadang. Sempat terjadi perdebatan. Sang PA yang bergelar doktor merasa jawaban Jailani seperti menyepelekannya. Dan sang PA tak mau disepelekan oleh jawaban Jailani yang kurang benar. Sang PA yang mengaku diri sangat dibutuhkan ketika berada di luar negeri itu seperti tak mau mahasiswanya tidak mengiyakan saja apa yang dikatakannya.
Hingga Jailani terpaku sambil memikirkan apa yang tepat jawabannya, PA berkata, “ngutang atau bayar?” Jailani dengan berani, “bayar sekarang, Pak.” Tapi kemudian Jailani tak juga sanggup menjawabnya. Padahal, kata Jailani pada saya tadi, pertanyaan sangat gampang dan jawabannya enteng sekali. Tapi sang PA kemarin seperti mengetesnya. Entah. Mungkin karena Si Jailani sering tampil di media-media. Karya-karyanya kerap dimuat. Lalu Jailani menyerah, “Ngutang aja lah, Pak.”
Ah, Jailani. Kata dia, ia seharusnya jangan menyerah dulu, tapi bilang dulu pada PA, bahwa, jawaban itu ditunda dan dilanjutkan dengan mempresentasikan buku ketiga, keempat, dan kelima. Tapi terlanjur sudah. Dan Jailani bersama beberapa kawannya harus melunasi janji mereka sama Pak Hebbat sebulan kemudian.
Hebat sekali memang cara yang dilakukan dr Hebbat MA untuk menonjolkan mahasiswanya biar banyak omong yang betul-betul di depan orang-orang. Tapi dikhawatirkan nanti, kebanyakan ngomong malah tak pernah berbuat. Asyik cuap-cuap. “Bayangkan, satu orang lima buku. Kalian 15 orang, kalikan 15 dengan 5, sama dengan 75 buku. Itu artinya, setiap masing-masing kalian ibarat membaca 75 buku hari ini dalam waktu tak lebih dari 2 jam,” kata Pak Hebbat, mantap, pada mahasiswanya kemarin.
Memang, luar biasa metode dosen yang satu ini. Tapi Jailani bilang, itu belum cocok, sebab itu mendadak diterapkan bagi mahasiswa di negerinya yang umumnya sangat tidak suka (entah tak sempat) membaca buku. Apa enggak ada cara lain? Itu selalu hafal Jailani pada saya ketika berjumpa.[]