“na geuchik lagèe boh pik hana sagoe, na waki lagèe keubiri gatai asoe, na panglima udah-uduh lale keudroe”
Tungkat atau dalam bahasa Indonesianya disebut “tongkat” diketahui sebagai alat bantu menyangga keseimbangan tubuh. Kebiasaannya, tongkat digunakan oleh orang yang sudah tua, yang tulang punggungnya sudah mulai keropos. Namun, ada juga anak muda atau bahkan anak-anak yang masih kanak menggunakan tungkat untuk membantu dia berdiri dan berjalan. Golongan anak muda atau kanak-kanak bertongkat biasanya karena cacat pada kaki. Terserah, apakah cacat karena bawaan waktu lahir atau karena kecelakaan, Apa Dolah tak ambil pusing.
Berkelakar atau cang panah mengenai tungkat, saya teringat pada tongkat sakti Musa ‘alaihisalam. Tongkatnya bukan sekedar sakti, tapi juga merupakan mukjizat bagi Musa sebagai salah seorang Rasul Allah swt. Andai saja tongkat yang dapat membelah lautan api itu ada atau diwarisi sampai sekarang, sungguh sebuah petaka manakalah bukan di tangan orang pilihan seperti Nabi Musa.
Sudah menjadi kelaziman orang-orang zaman sekarang, memiliki senjata sakti atau ilmu kanuragan atau ileumèe dalam diwarisi kepada keturunannya. Namun, berbeda dengan Musa as. Dia tidak mewarisi tongkatnya kepada keturunannya seperti seorang ayah dalam hikayat Dangderia yang mewarisi Peudeung Manyak Payét kepada keturunannya. Maka itu, tungkat Nabi Musa tak ada di zaman sekarang.
Lantas, selain pedang, ilmu dalam, dan sejenis senjata sakti lainnya yang acapkali menjadi warisan kepada penerus, apakah tungkat juga diwariskan. Jawabnya tentu ada. Dalam kelakar kali ini pun, saya sedikit bertutur tentang tungkat sebagai sebuah senjata sakti mandraguna yang di dalamnya sudah masuk isim-isim. Hanya saja, tungkat dalam meuhaba ini tidak berwujud seperti kebanyakan tungkat—lurus ujungnya dan bengkok gagangnya atau kecil ujungnya dan besar pangkalnya–, karena tungkat dalam kelakar ini berupa tungkat kepercayaan.
Kemarin, tungkat kepercayaan itu diserahkan dari Mayjen TNI Supiadin AS kepada Mayjen TNI Soenarko. Acara penyerahan tongkat kepercayaan atau tongkat kekuasaan itu dilantik langsung oleh Kasad Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo dan disaksian oleh ratusan orang lainnya.
“Taharap keu panglima barô, Aceh teutap aman lagèe lam peujanjian,” kata Apa Dolah. Ibaratnya, kalau Panglima bijak, tanah dipijak terasa nyaman, keadaan aman negeri sejahtera. Ya, seperti hadih maja bilang, “adat mukim peusahoe gampông, panglima kawôm nyang atô rakyat; adat sagoe beusahoe lam nanggroe, makmu nanggroe rakyat pih seujahtra.”
Kemudian, Apa Dolah menambahkan, semoga saja panglima barô meuphôm dengan situasi di Aceh. Dengan tanpa mengurangi kepercayaan kepada panglima barô, Apa Dolah mengutip sebuah naritmaja, “adat meukoh reubông, hukôm meukoh purieh; adat jeuet beuranggaho takông, hukôm han jeut baranggahoe takieh. Nyoe Aceh, Bung!”
Hal itu dikatakan Apa Dolah karena dia takut sekali dengan apa yang pernah diucapkan indatu, yakni na geuchik lagèe boh pik hana sagoe, na waki lagèe keubiri gatai asoe, na panglima udah-uduh lale keudroe.
Sungguh, Apa Dolah tak ingin itu terjadi di saat Aceh sudah diyakini damai. Dan, saya pikir, semua ingin nanggroe meusyara’, lampôh meupageue, umong meuateueng, ureueng meunama, rakyat pih udép seujahtra. Amin![]