Teman saya kali ini bicara masalah Udam-nya kalangan Tuan pejabat dan para birokrat di negeri ini, menurut teman saya, Udam adalah satu kata dalam bahasa Aceh yang sudah jarang diperdengarkan. Udam menyiratkan sikap dan prilaku buruk.
Udam seumpama ta tak han le lhut, takheun han meurasa, ta rhah han bulut, ta tubuet ha meuhila. Jadi menurut teman saya, demikian sudah mental baja para pemimpin nagari kerajaan simsalabim sekarang ini. Meski dikecam atas berbagai kebijakan yang tidak popular, tetap saja dilaksanakan. Akhirnya “Lagee asee surak kapai,” kata teman saya.
Perkara udam wala ka udam di nagari segi tiga emas, di persimpangan jalan yang sering disinggahi koloni dari berbagai bagian nagari kerajaan di nagari Banceh. Pejabatnya juga sudah terbilang udam. Kalau tidak mau dibilang udam sekali. ABG bilang “udam kalee seh”. Pejabat di salah satu nagari kerajaan Banceh itu udam-nya bukan main.
Mulai dari udam saat memindahkan pejabat pelopor nagari dari deretan bangku basah atawa ada tugas ke bangku hana tugah di miyup bak siren. Paradigma status quo pemimpin nagari lama telah merasuki dan menjadi sebuah syndrome yang menakutkan bagi pemimpin nagari penghasil keripik itu.
Padahal setelah kalangan pemimpin udam beraksi, hasilnya malah lebih buruk dari pemimpin lama. “Lebih udam dari yang udam-udam,” kata teman saya. Begitu pula dengan kalangan punggawa nagari yang dibai’at untuk membantu tugas nagari simsalabim. “Tak kalah udamnya, udam banget…,” kata teman saya.
Udamnya pemimpin kerajaan nagari semakin sering diperlihatkan. Kalangan pejabat karbitan, yang menurut ahlinya tidak sesuai dengan pengalaman, kompetensi dan latar belakang pendidikan semakin berkuasa di rimba bagi-bagi kapling kerajaan nagari. Mereka di”matangkan” oleh pemimpin nagari. “Sumber daya matang,” kata teman saya.
Para punggawa kerajaan karbitan yang terkenal dengan grup boh manok mirah yang ditenarkan seorang juru tulis itu semakin meupateng di posisinya. Padahal sejumlah punggawa kerajaan nagari lainnya sudah beberapa kali meupunggeng. Belum silak bajee neuk keurija, sudah dipindah keu teumpat laen.
“Sipatu standet ngeon gigoe beusoe, raja lam nanggroe keulola bansa, sang-sang nanggroe nyoe gobnyan yang pateng, laju geu gileng kriban yang suka, pejabat geu peuduek bak teumpat peunteng, hanjeut nyang laen beuna hubungan keuluarga (pariek),” kata teman saya dari lhokwe.
Begitulah, selain mengorbit punggawa kerajaan nagari bagian dari kalangan kroni. “Lakoe adoe peurumoh aduen, meusaho lheuh,” ujar teman saya. Pemimpin udam di nagari yang sedang menuju kebangkrutan itu juga mendatangkan punggawa kerajaan dari luar wilayah nagari.
Tercatat sebanyak delapan hingga sepuluh orang punggawa kerajaan ditempatkan di tempat strategis di kerajaan udam itu. Mereka tak ubah para punggawa jak cok apui. Yang kesetiaannya patut diragukan. Datang ke kerajaan nagari karena ada jabatan, kemudian akan pergi ketika sudah tak terpakai. Mereka pejabat keliling.
Sementara para punggawa kerajaan yang sudah bersakit-sakit saat kerajaan nagari bagian itu miskin, kini meukuwien di miyup bak siren. Mereka kalah dari para punggawa impor yang didatangkan untuk membangkrutkan nagari.
“Jadi ada lagu yang harus dirilis, antara pejabat pelopor, sumber daya matang dan pejabat keliling,” demikian kata teman saya yang takut terjerumus dalam kalangan udam.[]