Tentang Bireuen, saya berpendapat sederhana: kota kecil yang selalu hidup. Ada burung walet cit cit cit beterbangan. Warung kopi berjajar di sepanjang jalan. Pendopo bupati yang pintunya pernah dijebol ibu-ibu dan terakhir digeranat orang tak dikenal. Meunasah di dekat alun-alun, juga rumah orang terkaya di sana, Saifanur, yang membuat saya kecele karena kendati menyerupai masjid pada hari Jumat tak dipakai salah Jumat.
Malam itu, pukul 00.00 WIB. Saya begadang dengan Bang Zoel di kedai kopi depan pendopo. “Bang, ini burung banyak sekali,” kataku.
“Itu burung walet. Ruko bertingkat itu rumah walet,” ujar Bang Zoel sembari menunjuk bangunan di depan kami. Bangunan tua tapi cukup terurus.
“Sejak dulu Bireuen penghasil walet. Sayangnya, sedikit pajak yang masuk ke pemerintah,” ucapnya.
Saya langsung membayangkan miliaran rupiah uang. Sebab setahu saya liur burung walet yang sudah menjadi sarang harganya sampai Rp20 juta/kg. Selain itu, saya juga membayangkan banyak orang ‘gila’ gara-gara walet. Lebaran tahun lalu saya pulang ke rumah mertua di Kebumen, Jawa Tengah. Ada bangunan bertingkat di desa pelosok itu. Konon dibangun menghabiskan dana sampai Rp300 juta. Tapi tak ada wallet yang bertengger di sana. Rumah itu jadi laiknya rumah hantu.
Lalu di kota Medan. Kota itu juga dipenuhi gedung tua rumah walet. Sebagian ada yang sukses menangkar walet, sebagian lagi gagal.
“Pajak walet di sini menjadi rebutan di saat konflik. Pemilik mesti setor ke GAM juga aparat. Jadi nggak masuk kas negara,” ucap Bang Zoel.
Saya khusuk mendengar. “Kalaulah sekarang politisi Bireuen pintar bicara itu bukan karena sering mengkonsumsi sarang walet,” katanya tersenyum.
Bang Zoel seakan menduga otak saya sedang usil memikirkan politik. Harap maklum, beberapa kali ketemu, Bang Zoel selalu mengajak diskusi politik. Air liur walet pun dihubung-hubungkan dengan politik.
“Tapi kita bisa belajar banyak dari walet,” kata saya.
“Benar. Bila yang dimaksud dia memberikan manfaat besar kepada tuannya akan tetapi memberi pemandangan tak sedap bahkan bisa menyebarkan demam berdarah bagi warga di sekitarnya,” sambar Bang Zoel.
Saya jadi terkejut.
“Gedung itu tak terawat dan sangat tidak sehat berada di tengah kota. Karena dia menghasilkan liur emas, maka tak ada yang mengusik,” katanya. “Ada juga politisi yang seperti itu. Hanya memberikan keuntungan bagi tuannya tapi tidak kepada rakyat. Politisi semacam itu tak lebih berharga daripada budak!”
Ingin rasanya saya menyela Bang Zoel, tapi buru-buru ia melihat jam tangganya. “Udah malam. Kita istirahat. Sampai ketemu besok,” ujarnya serogoh kocek Rp3000 untuk dua gelas kopi. []