Demo atawa demonstrasi, pelakunya disebut demonstran. Di Indonesia, berita tentang demonstrasi identik dengan gossip. Kalau di Aceh gossip yang paling asyik kita ikuti bukan melalui media cetak atau elektronik, justru di warung-warung kopi, atau di panteue jaga (posiskambling) dengan gaya cang panah sambil geleng-geleng kepala.
Misalnya tentang demontrasi atau ujukrasa. Dua suku kata itu sering diperdebatkan sampai dawa bunta (debat kursir). Tanpa ujung pangkal. Ada yang bilang, disebut unjuk rasa bila tertib, kalau sudah anarkis maka dinamai demon. Maka yang satu mendebat. Demontrasilah yang berarti unjuk rasa yang anarkis. Dawa bunta nggak karuan.
Ujung-ujungnya mereka bubar. Jam menunjukkan pukul 11.30, setelah tadinya dawa bunta dari jam 9.30 praktis hari itu hanya satu jam mereka berja. Itupun kalau ada pekerjaan tetap. Kalau sore begitu juga. Mulai pukul 15.00 sampai pukul 16.15. Bubar lagi, kadang-kadang salat ashar disatukan dengan magrib.
Kalau debat itu berlangsung di warung kopi pinggir pantai Kuala Beukah Aceh Timur, maka kedengaranlah nada tinggi dan kasar. Itulah gaya ureng rabineh laot. Kalau debat itu di seputaran kantin perkantoran Bupati Nagan Raya, bahasanya saling berargumentatif. tentang ada tidaknya kepala kantor polan atau kabag polen melakukan korupsi yang ektrem lagi isu kawin dua atasan di kantoranya. Kalau kebetulan warung kopi itu di pinggir Dayah Aziziah Samalanga Kabupaten Bireuen, maka ayat Al-Quran dan Al-Hadis muncul sebagai alasan untuk tidak terjadi khilafiah sesama santri itu, yang kadang-kadang bersandar kepada argumentasi tentang qias ulama.
Nah, sekarang saya lagi minum kopi di seputaran Ulee Kareng Banda Aceh. Saya pendatang baru dikota ini. Menarik untuk dikuti, karena di sini Saudara Bur dan Hamdan memperkenalkan saya sejumlah tokoh penting. Ada tokoh politisi, usahawan, wartawan, kontraktor, mantan GAM atau KPA, PNS, aktivis kampus dan lain-lain.
Tersebutlah nama Husen Banta dan Gade Salam. Keduanya adalah anggota DPRA yang sedang menunaikan ibadah haji. Ada juga beberapa anggota DPRK misalnya Zul Sawang, Ustadz Nawi. Kalangan pengusaha, ada Dek Cut Sinar Desa, Abu Manyak, sesekali juga kelihatan Bang Lukman CM.
Dari kalangan praktisi hukum ada Bang Darwis SH, Bung Zaini Jalil, dan juga sesekali kelihatan Acon. Yang sering menjadi sorotan mata saya adalah Saudara Fadli Matang. Ia katanya GAM dari Bireuen, orangnya besar dan tegap, namanya pupuler menjelang penyampaian visi misi kandidat gubernur Aceh beberapa waktu lalu di Swiss Bell.
Menurut Bang Bur, tokoh-tokoh lain yang sering ngopi di sini, termasuk juga tokoh yang selama darurat militer dan sipil, juga masa konflik hijrah sebentar keluar Aceh. Sekarang mereka pulang dengan segudang gagasannya cang pan di atas meja kopi ini.
Tentang tokoh tersebut, maaf: saya tidak sebut namanya, menjaga hubungan silaturrahmi, untuk saling pengertian saja. Mungkin juga saya, Anda atau Tengku yang baca Harian Aceh selama ini kita menonton sandiwara satu babak di negeri indatu kita Aceh namanya.
Kopi yang saya pesan bertiga, ada beberapa teman wartawan sudah hampir habis. Pembicaraan mengarah ke Kongres SIRA yang sedang berlangsung. Katanya, akhir 1998 lalu sejumlah OKP dan mewakili pesantren (dayah), serta elemen Kampus duek pakat (duduk bersama) membentuk suatu komonitas namanya Sentral Informasi Referandum Aceh disingkatkan SIRA. Terpilih Nazar sebagai ketua presediumnya, serta sejumlah nama tokoh muda saat itu tampil sebagai pahlawan yang mampu mengumpulkan masa ratusan ribu orang, Masjid Raya Baiturrahman sebagai saksinya. Di zaman penghujung 0rde baru dan awal orde reformasi, Nazar, Kausar, Salamuddin, Aguswandi, Taufiq Abda Munawar Liza dan sejumlah tokoh muda lainnya disebut-sebut otak pengerak demonstran.
Kini sejarah berbicara lain, Nazar yang pernah dipenjara, Kausar yang pernah masuk hutan, Aguswandi yang melarikan diri ke luar negeri, juga nama-nama lain yang menghiasi tiap hari lebaran dicap tukang ujuk rasa. Namun empat juta lebih penduduk Aceh harus mengakui kehebatan mereka. Sekarang mereka sudah menjadi tokoh-tokoh penentu Aceh ke depan. Wakil Gubernur Aceh dan sejumlah Bupati dan wakil bupati/kota di tangan mereka.
Kita tidak tahu, yang melakukan demo Kantor DPRK Kabupaten Nagan Raya. Demo perawat di Rumah Sakit Fakinah. Demo para aktivis tentang korupsi di simpang lima Banda Aceh. Demo anti Bupati Abdya Akmal Ibrahim, serta beberapa tempat demo lainnya. Artinya, akankah para pendemo itu bakal besar seperti Nazar, Munawar Liza, Aguswandi. Sejarahlah yang menjadi saksi.
Ah, diskusi kami mulai melenceng. Suara Azan zuhur berkumandang. Warung kopi milik Ayah Solong, Ulee Kareng, pintunya ditutup dengan rolling door. Namun pengunjungnya tetap duduk di dalam sambil mendengar pangilan azan dari masjid yang dekatnya sekitar 50 meter. Aceh sekarang sedang berlaku hukum syariat. Kalau tidak sembahyang (salat) hormatilah mereka shalat.
Kalau tidak ingin dicambuk![]