KETIKA aku ke rumah dosenku di perumahan elit di gampong seberang, betapa kagetnya aku mendengar suara teriakan seorang wanita.
“Tolong, tolong ada maling…” Tiba-tiba maling itu melintas di hadapanku, kurasa hanya aku saja manusia baik hati yang ada di sana. Tak seorang pun keluar dari rumah, bahkan pemilik rumah yang jadi sasaran pun hanya histeris di depan pintu tanpa niat mengejar.
Terpaksa aku menjadi pahlawan malam itu. Bukan karena aku seorang pemberani, bukan pula karena wanita paruh baya itu yang mengharap bantuanku. Hanya tak enak saja, karena maling itu sudah menabrakku. Tanpa sengaja aku pun memeluknya.Tak pikir panjang lagi, langsung saja kukunci tubuh maling itu dengan tangan kosong. Secepat kilat kugapai ponsel yang menempel di pinggang dan menelepon Amanruf. Dialah satu-satunya temanku yang dekat dengan polisi, maklum sudah beberapa bulan ini wartawan berambut kusut itu ditempatkan oleh redaksinya di kantor polisi.
“Ruf, aku baru menangkap maling,” kataku cepat.
“Mana malingnya?”
“Ini, sedang kupeluk, cepat lapor polisi.”
Maling itu meronta-ronta melepas dekapanku, tapi aku sekuat tenaga menahannya. Kami terus beradu kekuatan. Bila ia mencoba melepaskan dengan tangannya, dengan cepat kutekan sikunya.
Bila ia coba gerakkan kakinya, dengan sigap kukunci dengan pergelangan kakinya. Begitulah aku sendiri di tengah malam buta berseteru dengan maling, sambil menunggu Amanruf dan teman-teman polisinya yang tak kunjung datang.
Amanruf berulang kali menghubungiku dan memintaku mengetik alamat yang jelas. Ternyata para polisi itu pun sudah empat kali putar-putar kompleks tapi tetap tak tahu di mana aku dan maling itu berada.
Ketakutan sang maling itu rupanya membuat ia menjadi manusia super. Kupikir aku sudah cukup kuat menahannya tapi ia mampu menghempasku sampai tersungkur ke tanah. Aku pun kembali menghubungi Amanruf dan mengatakan tak usah lagi panggil polisi, karena malingnya sudah lepas.
Seperti pintaku ia pun menghubungi teman-teman polisi kembali. Artinya tak ada lagi maling, tak ada yang harus ditangkap, padahal mereka telah datang satu mobil patroli. Puaslah polisi-polisi itu disemprot bos mereka.
“Kenapa bisa lepas, harusnya kalau ada maling diikat, jangan dibiarin.” Sebagai gantinya, Amanruf yang disemprot polisi-polisi itu secara berjamaah.
“Bodoh sekali kau ini, maling satu saja bisa lepas.” Giliran aku yang kena maki Amanruf.
“Dasar maling sialan, kalau tertangkap takkan kulepas lagi,” kesalku pada maling yang entah di mana rimbanya itu. Tapi sebentar, apa peduliku, kan bukan tugas aku menangkap maling, itu kan tugas polisi.[]