Konferensi itu dibuat karena ada beberapa dokter berdemo untuk suatu hal yang tidak dimengerti Apa Maun. Memang, tidak semua hal harus dimengerti Apa Maun. Maka demikianlah adanya negeri itu. Dalam konferensi yang diadakan di sebuah sekolah itu dibahas banyak hal, betapapun banyaknya, Apa Maun mengingat semua.
Pada sesi pertama dibahas tentang ketimpangan di negeri itu dalam hal kesehatan. Rumah sakit bertaraf internasional telah dibangun, namun gubernur, walikota atau wakilnya yang sakit atau yang berpura-pura sakit tetap berobat ke rumah sakit luar negeri. Kata mereka, keahlian para dokter di kampong tak bernama belum terjamin.
“Hana jitu’oh, kon hana tapeucaya (Mereka memang tidak pandai,bukan kita enggak percaya), lom pih (begitu juga)dana berobat ke luar kan banyak, banyak sisanya juga, pahamlah, sekalian jalan-jalan,” kata para penjabat itu disuatu hari pada wartawan tapi tak diizinkan publish.
Pada sesi kedua konferensi tersebut dibahas tentang kinerja para dokter yang tidak menghargai pasien dari kalangan rakyat kebanyakan, apalagi yang mengantongi surat berobat gratis. Kebiasaan di kampong tak bernama, para penduduk yang mau berobat ke rumah sakit harus menumpangi mobil angkutan alakadar, apalagi dari pedalaman, harus menumpangi mobil bak terbuka dengan melalui jalanan berdebu, pasiennya ditutupi kain batik sepanjang jalan puluhan kilometer.
Begitu masuk pinggiran kota, mobil bak terbuka pengangkut pasien dari pedalaman berpapasan dengan sebuah mobil ambulance hadiah NGO luar negeri. Mobil mewah tersebut dikemudikan oleh seorang supir, ditumpangi seorang perawat perempuan cantik yang sedang theih droe (merias diri) di kaca spion.
Begitu sampai di rumah sakit, pasien dari pedalaman tidak bisa langsung masuk pengobatan, karena tidak ada penjamin apalagi pasien tersebut mengantongi surat obat gratis.
Maka demkianlah sesi kedua. Pada sesi ketiga konferensi itu dicarilah solusi untuk kampong tak bernama. Sesi ketiga ini paling lama makan waktu karena membahas mencari solusi, sebuah kebiasaan yang jarang terjadi dikampung tak bernama. Namun karena yang membuat konferensi itu “Peureute Hana Eh Malam”, maka solusi harus didapatkan. Maka demikianlah, menjelang fajar menyingsing, solusi pun telah didapatkan, dan selesai dibacakan pas saat azan subuh berkumandang.
“Apa solusinya?” Tanya Apa Rasyib, yang muncul saat Apa Maun berbicara sampai berbusa mulutnya. Saat konferensi itu, Apa Rasyib hadir, tapi datang ketika azan subuh berkumandang. Lagi pula kalaupun ia hadir di awa acara, ia tak pernah mendengar bahasan rapat, karena sibuk membulatkan pancaran cahaya senternya pada dinding meunasah.
“Makanya, bek gadoh neupeubulat bola sentee atee rapat, alah hai (makanya jangan asyik menyetel cahaya senter saja ketika rapat berlangsung) Apa Rasyib,” kata Dek Gam, yang dari tadi menguping ceramah Apa Maun.
“Berarti tak ada solusinya, sudah kuduga, Apa Maun adalah provokator terbesar sepanjang sejarah kampong tak bernama.”
“Ya, Apa Maun memang provokator,” kata Dek Nong.
“Baik, karena Apa Maun provokator, maka aku saja yang jelaskan solusinya,” kata Apa Main tadi tak sempat bicara. Maka Apa Main menjelaskan hasil konferensi kinerja dokter di kampong tak bernama.
”Dalam konferensi itu, kita punya kesepakatan untuk menggratiskan sekolah atau fakultas kedokteran di kampong tak bernama, juga kita sepakat untuk membangun puskesmas plus di setap mukim. Fakultas atau akademisi kesehatan harus dibuat standar manusiawi, yang bisa belajar memang yang lulus seleksi, bukan seperti yang sudah-sudah harus sogok walau agak idiot tetap lewat, makanya takut orang berobat di kampong ini walau fasilitas internasional standar tapi pelayanannya kuno,” kata Apa Main.
“Apa tadi solusinya?” Tanya Apa Rasyib seraya memutar-mutar senternya.
“Dalam konferensi itu disepakati, di kampong kita dibangun pabrik farmasi karena semua bahan baku obat-obatan ada di seluruh hutan-hutan Aceh,” Kata Apa Main.
“Lalu, kalau kita gratiskan fakultas atau akademi kesehatan, dan membangun pabrik farmasi, maka darimanakah dananya itu wahai Tuan?” Tanya Dek Nong yang baru muncul tapi sempat mendengar penjelasan Apa Maun.
“Alah, kampong kita kan lagi banyak uang, yang dikasih oleh orang di kampong seberang, hehe. Kan kabarnya uang di kampong kita meuliyon-liyon (milyaran) nah, makanya para penjabat itu jangan buhak bulu, jangan palai mobil mahal dengan uang kesehatan rakyat, hidupnya sederhana saja tuan, kampong kita masih banyak hutang, bek rayek reumoh geuchik ngon meulasah (jangan sampai lebih besar rumah penjabat dengan gedung keperluan public,” kata Dek Nong.