Aku adalah…

ADA seribu pilihan dalam hidup. Mengambil satu, maka 999 pilihan lainnya menjadi korban. Sang penentu selamat dengan satu pilihan, tetapi juga selamat sebagai pembiar yang tega.

Jika mengambil seribu, maka keseribu pilihan barangkali akan selamat. Tetapi sang penentu akan mati karena manusia tidak diciptakan untuk tahan menanggung seribu alternatif kehidupan.

Aku memilih tiga dari seribu itu. Untuk matapencaharian buat menghidupi anak-isteri, aku memilih lahan untuk bercangkul di tanah sawah.

Untuk lahan ekspresi agar eksistensi terakui, aku memilih pedang dan bedil untuk berperang.

Untuk mengisi kevakuman ketika jiwa dan raga butuh kemanjaan, aku membiarkan diri dalam kemiskinan di mana saat uang seperak pun tak ada di kantong; yaitu saat kebutuhan jiwa dan raga, sekecil apa pun tak mampu kupenuhi.

Memanjakan diri dengan kemiskinan? Ya. Kemiskinan adalah kemanjaan. Saat itu jiwa dan raga dipaksa untuk kembali ke hakekat dasar manusia. Azali. Utuh dengan segenap yang ada tanpa apa-apa.

Dalam kondisi miskin, yang kupunya hanya tubuh, pikiran, perasaan, pakaian yang cuma melekat di tubuh dan sedikit makanan untuk mempertahankan hidup, itu pun sumbangan rasa kasihan alam dan kehidupan.

Kemiskinan, betapa memanjakan dia. Bebas dari segala tuntutan. Lepas dari semua pertanggungjawaban. Rela. Tunduk. Bahkan pasrah ketika dipaksa hengkang dari tanah warisan orang tua lantaran sejumlah uang yang tak kumiliki buat mengurus sertifikasi kepemilikan secara hukum.

Miskin membuatku menyatu penuh dengan segenap sabda alam dan kehidupan. Yaitu membiarkan diri terhempas ke sana ke mari seirama arah badai dan tendangan orang-orang.[]

Aku adalah negeriku kini; Acehku yang amat terkasihani.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.