Kuku bagi sebagian orang merupakan asesoris badan, pengindah penampilan. Namun sesungguhnya zaman mengajarkan bahwa kuku itu lambang keangkuhan dan identitas kemapanan, serta penegasan pengaruh terhadap suatu golongan.
Karena itu pula ramai orang memanjangkan kuku dan merawatnya seindah mungkin. Dulu waktu kecil, sebagaimana pengakuan seorang kawan dalam novelnya, ia juga sering membersihkan kuku dengan belimbing muda agar kukunya bersih. Tapi saya lebih suka menggunakan abu rokok untuk menyemir kuku dengan menggosokkannya, kuku pun jadi mengkilap.
Bagi kebanyakan perempuan, memelihara kuku merupakan suatu keharusan. Ada pula yang menjadikan kuku sebagai dasar pengambilan keputusan. Kawan yang lain bercerita bahwa ketika ia menerima tawaran seorang pemuda yang hendak menjadikannya kekasih, ia terlebih dahulu melihat kuku sang pemuda itu. Kuku dinilai mampu mewakili dan memberi jawaban bersih tidaknya pemilik kuku tersebut.
Jadi sering-seringlah membersihkan kuku ketika hendak menggaet wanita idaman. Kuku yang kotor akan dianggap sebagai lambang kejorokan. Dan itu dinilai sesuatu yang tidak menyenangkan bagi sebagian perempuan. Jangan sepelekan kuku, meski kecil di ujung jari, ia bisa menjadi ciri dan identitas pemiliknya.
Lain zaman, maka lain pula makna kuku. Pada abad kelimabelas dan beberapa masa setelahnya, kuku dianggap sebagai lambang kemapanan. Orang yang berkuku panjang saat itu identik dengan orang yang bekerja dengan telunjuk, bukan dengan otot. Dalam artian minimal mereka dalam mandor di pelabuhan, atau orang behave di lingkungannya.
Makanya pada masa itu, bila ada kapal-kapal asing yang merapat di pelabuhan Aceh, para pemilik kapal tersebut tidak susah mencari pekerja bongkar muat barang, cukup mencari orang berkuku panjang. Mereka memiliki banyak pekerja yang bisa dipakai kapan saja. Istilah kerennya sekarang, orang berkuku panjang pada masa itu merupakan pemilik perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.
Hal ini seperti dialami oleh Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman, orang Belanda pertama yang merintis misi dagangnya ke Aceh. Keduanya diutus oleh perusahaan dagang berkebangsaan Belanda, Zeewsche reeder Balthazar de Moecheron. Ketika sampai di Pelabuhan Aceh, mereka cukup mencari pria berkuku panjang untuk memudahkan usahanya di pelabuhan.
Namun kala itu Portugis sudah lebih dulu menancapkan kukunya di sekitar Selat Malaka. Pihak Portugis menghasut Kerajaan Aceh untuk tidak menerima misi dagang Belanda itu, karena berkeinginan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah. Apalagi waktu itu Portugis bermusuhan dengan Belanda. Dalam hal ini, kuku bagi Portugis merupakan perlambangan pengaruh dan kekuasaan.
Raja Aceh pun terpengaruh, dua utusan dagang Belanda itu, Frederick de Houtman dan Cornelis de Houtman ditahan. Karena negosiasi ekonomi yang gagal maka Cornelis dibunuh, sementara Frederick ditangkap dan ditawan. Kedua kapal Belanda itu pun berlayar kembali ke Middelburg, Belanda.
Pada kesempatan lainnya, November 1600, Paulus van Caerden, teman sepelayaran dengan Pieter Both memerintahkan kembali dua buah kapal dari Brabantsche Compagnie untuk merintis hubungan dagang dengan Aceh. Dan ketika sampai ke Pelabuhan Aceh, mereka tetap mencari pria berkuku panjang untuk mendapatkan jasa tenaga kerja.
Paulus van Caerden berhasil membuat suatu perjanjian dagang dengan Aceh, tapi karena saat itu Aceh masih terus dihasut oleh Portugis untuk tidak bekerja sama deangan Belanda. Muatan rempah-rempah dibongkar kembali dari kapal Belanda, mereka pun kembali ke Belanda tanpa hasil apa-apa.
Saat itulah Federick de Houtman berhasil lari dari tawanan orang Aceh dan naik ke kapal Van Caerden untuk melarikan diri. Tapi ia kemudian mengurungkan niatnya dan kembali menyerahkan diri kepada Sultan Aceh. Cerita tentang peristiwa tersebut terangkum dalam De Europeers in den Maleishen Archipel, dan Het handelsverdrag van V Caerden, dalam buku JE Heeres: Corpus Diplomaticum. Sebuah catatan tentang diplomasi dagang Belanda ke Malaka.
Itu cerita kuku dalam sejarah tempo dulu, kini kuku bernilai lain, ada kalanya kuku dianggap mewakili identitas pemiliknya yang bersih dan indah, menggoda dan menawan. Karena itu pula kuku melahirkan ladang bisnis baru, salon kuku bertebaran dimana-mana untuk memperindah penampilan di ujung jari. Dan wanita muda bersedia bayar semahal apa pun untuk memperoleh kuku yang menawan. Hikayat membersihkan kuku dengan boh limeng dan abu rokok, bukan zamannya lagi.
Namun kala lain, kuku juga dianggap sebagai kecongkakan dan kesombongan. Orang-orang yang telah mampu mempengaruhi sesuatu tempat atau golongan sering disebut telah mampu menancapkan kukunya di situ. Makna yang lebih sering berkonotasi negatif tinimbang berujar telah menguasai atau mempengaruhi.
Meski demikian, kuku tetaplah kuku, tanduk kecil di ujung jari yang bisa memberi arti dan maksud yang berbeda-beda, tergantung masa dan tempat penggunaannya. Tapi satu hal, jangan mencubit dengan kuku panjang, karena itu bisa bermakna kediktatoran dan kearoganan.[]