WANITA tua itu berjalan menyusuri lorong rumah sehat kerajaan. Ditangannya selembar kertas putih seukuran kwitansi. Kain batiknya diangkat dengan tangan kiri, disandangnya ke leher. Sesekali langkahnya dipelankan karena pandangan matanya tertuju ke kertas itu.
“Berapa kira-kira semuanya ya,” gumam wanita bernama Darwati, wanita asal desa pedalaman kerajaan kami. Wanita bersandal jepit dengan baju kusam memakai sarung batik itu tiba-tiba berhenti di bangku panjang, dekat poliklinik yang sudah tutup. Hari menjelang senja.
Darwati duduk agak jauh dari dua pria rada seusianya, masih dibangku panjang yang sama. Dua pria itu tidak menggubrisnya. Kepulan asap dari mulut dua pria itu tampaknya dihindari Darwati, yang mengeluarkan sebuah dompet kusam, bertuliskan sebuah toko emas dan alamat.
Dompet itu diberikan tetangganya beberapa hari lalu, saat mengantar padi hasil panen kepada pemilik tanah. Anak gadis pemilik tanah beli perhiasan baru. Gadis itu tidak mau dompetnya. Diberikan kepada Darwati. Dompet itu dibuka Darwati, satu-satu isi dompet diusap dengan hati-hati. Mulai dihitungnya.
“Hanya tiga puluh sembilan ribu lima ratus,” gumamnya. Ia semakin bingung karena tidak tahu berapa uang yang harus disiapkan untuk menebus resep obat Junaida, cucunya, gadis kecil yang telah yatim piatu. Junaida sakit keras dua hari lalu, badannya panas dan muntah, hingga terpaksa dirawat di rumah sehat.
“Baiknya dipastikan dulu ke apotik, kalau uangnya cukup untuk ambil separuh dulu, ya ambil separuh,” ucapnya dalam hati. Lalu berjalan mendekat ke apotik pelengkap rumah sehat. M Yusuf, suaminya sedang pulang ke desa, memanen beberapa tandan pisang untuk dibawa ke kota. Minimal untuk beli makan Darwati dan cucunya.
“Seratus dua puluh lima ribu nek, belum termasuk obat untuk injeksi, obat untuk injeksi tidak ada stok,” ucap petugas apotik, tangannya mengibas resep. Darwati tertegun dan menelan ludahnya. “Nanti saja nak…,” ucap Darwati, diambilnya resep dan kembali ke ruangan. Di lorong rumah sehat, pikirannya kacau beliau.
Di ruangan, Junaida sudah tertidur. Hari menjelang malam. Selepas maghrib, dokter spesialis akan masuk mengecek semua pasien. Darwati semakin bingung apa yang harus dikatakan kepada dokter. Atau perawat jaga yang meminta obat injeksi untuk disudut ke botol infus. Lalu obat untuk diminum cucunya.
Darwati meniti tangga di lorong ruangan, menuju teras ruangan lantai dua ruang rawat anak. Pikiran semakin galau. Junaida terpaksa dirawat di rumah sakit, semalam lalu, cucu semata wayang itu mengigau. Tepat tengah malam. Sudah diobati seadanya, panasnya tak kunjung turun. Besoknya Junaida dibawa ke rumah sakit. Langsung diopname.
Darwati yang gamang, teringat kembali kata-kata sejumlah tetangga dan orang kampungnya. “Kalau berobat di rumah sehat, sekarang tak perlu bayar, gratis, cukup bawa kartu identitas dan kartu keluarga,” ujar tetangganya, saat akan membawa Junaida ke rumah sakit. Sehari sebelumnya.
Darwati masih ingat, saat cucunya dibawa ke unit gawat darurat rumah sehat itu. Perawat datang melihat kondisi cucunya. Sementara dokter piket masih di kantin. Setengah jam kemudian datang ke ruangan tindak. Darwati sebelumnya harus ambil kartu Rp5 ribu, kini harus meneken administrasi rawat inap.
Dokter spesialis memberi secarik resep, Darwati tidak membacanya. Saat ditebus seharga Rp125 ribu. Kali pertama itu, Darwati punya stok duit, diberikan tetangganya Rp100 ribu. Sisanya dari M Yusuf, suaminya. Hasil panen timun tiga hari lalu.
“Bagaimana bu,” M Yusuf baru tiba dari kampung, menyapanya. Darwati menjelaskan kalau resep obat Junaida belum ditebus. Duit yang ada masih kurang. M Yusuf rupanya membawa kabar baik. Pohon kelapa di dekat gubuk mereka ditawar orang. Pohon itu akan dipotong besok. Tapi duitnya dibayar tadi siang.
“Sini saya yang tebus, kamu masuk ke ruangan, nanti Junaida bangun,” kaya M Yusuf. Ia menyusuri lorong. Dalam hatinya bertanya, bagaimana besok, apa lagi yang harus dijual. “Bagian mana juga yang aku tak paham, bagian mana pula kesehatan gratis di negeri ini, entahlah,” gumamnya M Yusuf.[]