Bung, satu persen dari penduduk Aceh ini ternyata gila, bahasa halusnya sakit jiwa. Jumlah penduduk kita 4,3 juta, yang gila—menurut sumber resmi—sebanyak 43 ribu. Banyak faktor membuat orang jadi gila. Tak tercapai heut atau keinginan bisa juga kita gila. Tekanan ekonomi atau ditindas istri juga bisa buat lelaki yang sehari-hari garang bisa sakit jiwa. Itulah yang satu persen, yang 99 persen waras-waras saja. Mudah-mudahan Bung masuk dalam 99 persen, bukan yang satu persen.
Mana mungkin Bung masuk dalam katagori satu persen. Kemarin saya lihat Bung tampil di tivi. Mana mungkin orang gila tampil di tivi. Bung gagah betul dalam penampilan itu. Bukan karena jasnya yang mahal membuat Bung kelihatan gagah, tapi dari cara Bung berbicara lengkap dengan mimik muka dan gerakan tangan. Teratur dan berwibawa. Bung betul-betul orang penting. Dasinya juga oke, mungkin produk bermerek yang hanya bisa dibeli di konter-konter terkenal. (Pahadal waktu kuliah Bung sangat anti dengan dasi, bahkan mengejek pemakainya, sehinga ketika yudisium, Bung merasa gerah dan buru-buru membukanya begitu penguji bilang Bung lulus dengan nilai cukup).
Oya, Aldila sudah punya rumah di salah satu komplek elit di Jakarta. Suaminya orang penting seperti Bung. Dulu Bung tak mau dengan dia karena dia terlalu feodalistik. Dia memang berdarah ninggrat, keturunan uleebalang. Tapi, Bung terlalu berlebihan menilai dia. Apa beda sikap feodalistik yang datang dari keluarga feodal seperti Aldila dengan gaya teman-teman Bung sekarang ini. Sedikit-sedikit rapat di hotel. Sedikit-sedikit studi banding atau jaring asprasi ke luar negeri.
Ini zaman sudah canggih Bung. Kalau ingin menanyakan sesuatu kepada seseorang ke luar negeri, tak harus pergi ke sana, apalagi ramai-ramai dengan menghabiskan dana sampai Rp2,3 miliar. Cukup pakai telepon, internet, atau apa saja. Kalau untuk mencari literatur juga cukup buka internet, masuk ke google, tinggal klik apa yang diinginkan. Di sana berjibun, Bung. Padahal, Bung sudah paten, sudah pinter seperti kelihatan waktu ngomong di tivi, tapi kenapa hal-hal seperti itu harus dilakukan secara manual yang mengakibatkan keluar dana miliaran rupiah.
Rp2,3 miliar itu banyak, Bung. Bung juga kalau bukan karena fasilitas yang diakal-akali tak pernah lihat uang sebanyak itu. Tapi, saya salut sama Bung. Sebagai teman, Bung saya kategorikan dalam kelompok orang-orang cerdik, bukan sekadar pintar. Namun, banyak orang pintar seperti Bung kemudian berakhir dengan tragis, misalnya harus masuk penjara. Tahu Bung, selain KPK, sekarang kejaksaan juga sedang mengintip beberapa teman kita di Aceh. Saya berharap Bung tidak termasuk salah satunya. Atau Bung telepon teman kita yang sekarang jadi jaksa, minta bantu agar dia tak membidik Bung. Tanyakan apa dia masih ingat bagaimana dulu kita bertiga menjual beras milik Bung kiriman dari kampung, lalu kita makan di warung Arena Peunayong. Itu pengorbanan Bung, sehingga perlu diingat kalau dia ingin menangkap Bung.
Begitulah Bung dunia ini serba tak menentu. Tapi jangan gusar, Bung dan teman-teman Bung dapat membuat dunia itu teratur menurut Bung. Katakanlah lewat demokrasi seperti yang Bung teriak-teriak dulu: Demokrasi adalah kekuasaan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Semuanya harus ditanyakan kepada rakyat sebelum dilaksanakan. Tapi kalau sekarang dalam praktiknya tidak sejalan dengan defenisi itu, karena Bung telah berubah posisi. Saya akui itu sebuah kreatifitas! Artinya, selain aspirasi dalam negeri, dengan gigihnya mencari aspirasi ke luar negeri. Dan menurut Bung, Rp2,3 miliar itu tak seberapa dibandingkan manfaatnya bagi masa depan Aceh.
Manfaat? Ya, manfaat Bung. Semuanya harus bermanfaat. Bung kalau jadi orang penting juga harus bermanafat, tidak hanya untuk keluarga Bung yang bebas memakai mobil plat merah ke Warung Kopi Uleekareng, tapi juga bermanfaat untuk masyarakat luas. “Demi rakyat,” kata Bung dlu. Manfaat? Bung jangan lupa bahwa satu persen rakyat kita telah gila. Siapa tahu sebagian penyebabnya karena ulah teman-teman Bung. O ya, apa Bung masih ingat apa manfaat taik lembu bagi kehidupan kita? Saleuem.[]
(Haba Barlian AW)