DI antara sekian banyak orang Aceh tidak mungkin semuanya terhanyut arus modernisasi arsitekturisme sehingga model rumah adat sendiri pun dilupakan. Senantiasa ada yang kuat memegang prinsip adat. Saya telah membuktikan itu dari pengalaman puluhan tahun sebagai penjual tulak angen rumoh Aceh.
Kalau dilihat-lihat, justru orang-orang yang sudah sangat kaya yang biasanya berpulang pada tradisi membangun kembali rumah adat Aceh. Atau malah sebaliknya, yaitu orang-orang yang hidup sederhana di kampung-kampung, merekalah yang masih mempertahankan rumah adat sebagai tempat tinggalnya.
Kiranya berangkat dari dua kenyataan itulah saya bisa bertahan dengan usaha ini selama 30 tahun. Dan selama itu pula saya telah mendayung sepeda puluhan kilometer setiap hari dari kampung ke kampung di Nanggroe ini untuk menjajakan barang dagangan saya, yaitu barang dagangan yang kini jarang dijual orang.
Lempar angin, atau dalam bahasa Aceh disebut tulak angeen, kami rajut dari pelepah rumbia berbentuk segitiga sama kaki yang kami berikan warna di sana-sini agar cantik kesannya. Tulak angen ini fungsinya khusus untuk penahan angin di kedua ujung atap rumah adat Aceh. Dan sejalan dengan laju perguliran arus zaman di mana rumah Aceh sudah jarang dibangun orang, maka tulak angen ini pun seakan hilang dari peta pemasaran.
Oya, istri saya adalah perajin tulak angen yang lihai. Jika perempuan lain menghabiskan waktu seminggu untuk merajut sepasang lempar angin ini namun istri saya cuma butuh dua hari. Dan sehabis shalat Subuh, demikian setiap hari, tulak angen hasil kreativitas lentik jemari tua sang isteri, saya ikatkan pada sepeda tua milik kami. Lalu mendayunglah saya ke arah yang berbeda dari jurusan yang kemarin saya tuju. Dan bila ada yang butuh, sang lempar angin saya jual seharga Rp 150 ribu per dua lembar.
Rata-rata dalam seminggu, saya bisa menjual tiga pasang tulak angen. Untuk biaya bahan baku, yaitu tangkai daun rumbia yang saya beli dari orang di desa, hanya menghabiskan modal sekira Rp 30 ribuan. Artinya, dari usaha ini saja saya sudah dapat mencukupi biaya hidup kami sebagai sebuah pasangan tua.
Dan yang terpenting, dari sisi pemanfaatan waktu, jemari sang istri di rumah tak pernah henti menari, merajut unsur penyempurna rumah adat Aceh bagi kelangsungan tradisi Nanggroe.
Sebagaimana diketahui, tepas tulak angen yang berukuran 4 sampai 5 meter setiap sisinya ini, terdiri dari dua lembar sekali bawa. Rasanya memang berat untuk ukuran sebuah sepeda yang kondisinya sudah reot begini. Tapi sudahlah. Berbesar hati saja. Malah bangga juga, orang tua dengan sepeda tua beserta bawaan barang pelengkap bangunan lama, demikian serasi dan tampak elegan, bukan?
Tentang jumlah muatan tiap hari yang harus ditanggung sepeda butut saya ini, saya punya sebuah komentar yang tampaknya agak melenceng dari tema Cang Panah kita. Maksud saya, dikarenakan tampoong rumah Aceh hanya ada dua, yaitu tampoong siblah rot barat dan tampoong siblah rot timu, maka sesungguhnya menilai orang Aceh itu kadang-kadang agak mudah juga. Cuma dari jumlah tampoong rumah adatnya saja.
Maksudnya, yang mau saya bilang, orang Aceh itu, kalau tidak baik, ya, buruk. Kalau tidak berani, ya, pengecut. Kalau tidak damai, ya, perang. Kalau tidak hidup, ya, mati. Saya kira pada orang Aceh tidak ada istilah pilih-pilih “jalan tengah”. Tapi itu orang Aceh zaman dulu. Sekarang mana ada. Hana pat mat.[]
cerita nya lebih menarik jika ada gambar nya..
salam dr Malaysia
cerita nya lebih menarik jika ada gambar nya..
Aisya, gambar dapat membatasi kebebasan imajinasi untuk mewujudkan
“tulak angen” dalam persepsi. Agaknya, tanpa gambar, kami lebih
demokratis dalam menawarkan ide kepada pembaca kami. Terima kasih atas
atensinya.
Salam dari “tulak angen”, eh, dari Aceh:
Musmarwan Abdullah