Join Kuphi

ENTAH mengapa malam itu aku singgah di Keudee Kuphi Yahwa Dolah. Begini kawan, dulu aku adalah langganan setianya. Meski kerap ngutang, ya wajarlah, namanya saja mahasiswa. Delapan tahun, tiga bulan, enam belas hari aku sudah tidak mencicipi kopi kental racikan Yahwa yang perwakannya gemuk, hitam legam seakan menyatu dengan profesinya itu.

Warung Pak Tua sederhana dan humoris itu serba rumbia. Mulai dari atap, dinding, plafon, hingga hingga bilik salat di sudut kanan warung juga rumbia. Warung yang sudah dikelolanya sejak awal sebilan puluhan itu tak pernah berubah, tetap begitu saja.

Tunggu dulu kawan, Meski tampak reot, warkop itu seperti tiada matinya. Makin larut malam, makin ramai saja. Bahkan sampai terang tanah esok. Pengunjungnya pun silih berganti. Mulai dari remaja yang notabenenya belajar ngopi, hingga tua renta. Oh ya, waria juga pernah aku lihat, tapi dulu, malam itu tak ada.

Sekira sepertiga malam aku tiba disana. Aku bangga melihat apa dollah yang hobbi mempertahankan arsitektur bangunan warungnya itu.

“Oi aneuk muda, lagee leumah buleuen eh,” teriak Yahwa dengan logat Aceh Rayeuek yang khas terkadang membuat kita geli-geli gitu.

“Hana betoi aneuk muda uroenyoe Yahwa, saket that ulee nyoe, neuweng kuphi ile saboh,” pintaku.

“Kah pajan na tom pak ulee,” dia menyeloteh saja sekenanya tanpa melihat kearahku. Dia dengan sangat cekatan menyetel saring kopi, dan dia tau betul seleraku.

Sekejap kemudian. “Nyan cok, kuphi itam sama lagee kah, hahaha!” candanya. Dasar Pak Tua Selalu saja begitu, sepertinya dia tidak peduli kalau aku di kerumunan pengunjung lain.

Dua pertiga malam sudah kuhabiskan di bangku kayu kusam dan agak seunget itu. Pengunjung mulai berkurang, apa lagi yang renta-renta, mereka semua pada mekhiep-khiep. Aku tak peduli pada mereka, aku terus menyeruput kopi pelan-pelan sekali sesuai suasana hatiku malam itu. Kopiku tak panas lagi, melainkan kopi dingin, meski tanpa es batu.

Aku terkejut bukan kepalang, hampir saja sisa kopi kuhempaskan ke wajah lelaki yang menepuk bahuku barusan.

“Ee wak (bahasa sapaan kami yang tak lekang oleh waktu), gila kali, kok ada disini,” dia kegirangan melihatku. Maklum, dia adalah salah satu parte ngopi di tempat Yahwa waktu mahasiswa dulu. Dia temanku Syafei,  setelah lulus kuliah, dia pulang ke pelosok barat Kuta Raja dan jadi guru terpencil di sana.

“Apa kabar wak, sehat sekarang ya, gemuk lagi, cuman itamnya yang hilang-hilang. Hahaha!” dia selalu menyindirku itam, kawanku yang satu ini memang tak penah ada ubah-ubahnya.

Singkat cerita, kami pun saling tukar informasi. Mulai dari keadaan maising-masing, istri, anak, pekerjaan, cita-cita kedepan, hingga kenang-kenang masa lalu di kampus. Pokoknya semuanya deh.

“Ada setan lewat,” ujarku sambil kubuat senyum selebar-lebarnya mendekat di depan wajahnya.

“Kenapa, mana setannya,” kata Syafei serius.

“Gak, kan sudah sepertiga malam kita ngomong terus, kok tiba-tiba hening, apa ada masalah yang menderamu kawanku,” ku coba selidiki dia.

“Aku dari barat koeta kemari, karena suasana hatiku lagi kacau, aku merasa apa yang aku lakukan dalam hidupku selama ini tidak berguna,” racau Syafei dengan nada parau, tubuhnya disenderkan lemah di persenderan kursi tua itu.

Dia terus bercerita, aku pun terus mendengarnya tanpa ada sedikit pun rencana untuk membantah. Dia memulai ceritanya sejak selesai kuliah, menikah, punya punya anak, himpitan ekonomi, hingga satu peristiwa yang sangat membuatnya pupus dan hatinya tercabik-cabik.

Periswa itu berawal ketika salah seorang dari keluarga istrinya yang notabenenya orang gedongan bertandang ke rumah. Saat itu Syafei sedang tidak di rumah. Seperti biasa istri Syafei bukan istri yang berpangku tangan dan berharap sepenuhnya pada suami.

Ia rajin membantu suaminya untuk menopang ekonomi keluarga, meski terdakadang sangat-sangat membebaninya, apalagi dia punya bayi kecil, tapi ia toh bisa selalu tersenyum. Yang penting, kata Syafei, mereka sampai detik ini sangat bahagia.

Sang tamu yang tak diundang itu ternyata tidak nyaman melihat keponaannya hidup susah. Maklum ketika ia datang, isteri Syafei sedang mengaduk adonan kue bakpau yang hendak dijajaki terang tanah esok di bererapa wakop di kampungnya.

Tanpa tunggu tempo, sang tamu menghubungi mertua Syafei dan melaporkan apa yang baru saja dilihatnya. Mendengar pernyataan Pak Wanya, istri syafei hanya bisa terdiam dan menangis tersedu-sedu. Tangisnya turus berlanjut hingga Syafei pulang mengajar.

Setelah mengetahui kejadian itu, maka murkalah Syafei, dan dia menyelesaikan semua itu dengan gayanya sendiri. Namun yang belum bisa diselesaikannya adalah beberapa bait kata “puitis” dari Pak Wa istrinya.

“Begitulah kawan, kalau kita miskin, terkadang kita merasa kehidupan ini bukan milik kita. Sudahlah, aku sekarang coba tenangkan diri, makanya aku datang ke Koeta Radja,” jelas Syafei panjang lebar.

Setelah kutimbang dan kurasakan perasaannya malam itu, sepertinya dia tidak butuh nasehat atau masukan terbaik dariku, seperti saat kebingunggan di organisasi kampus dulu. Akhirnya aku harus putuskan untuk mencairkan suasana.

“Hidup ini adalah kenikmatan, bagi yang menikmatinya, hidup ini bisa juga penuh kesengsaraan, itu tergantung pada si yang menjalani hidup. Jadi tidak sama sekali tergantung pada kaya atau miskin. Orang hobi memamdang kaya atau miskin termasuk manusia bodoh yang tidak mengerti kehidupan itu sendiri,” kultum singkatku pada Syafei.

Dia pun memelukku erat, aku berusaha menahan haru, apa lagi azan subuh mulai menggema, aku benar-benar terharu oleh nasehatku sendiri.

“Sudahlah fei, Kau beruntung punya istri yang seperti itu, kalau masalah keluarganya memandang kalian seperti apa, itu bukan urusan kau,” Sedikit kultum lagi. Aku kalau nasehatin orang paling bisa, kalau kena sediri, itu kurasa sulit.

“Fei ternyata aku lebih beruntung dari kau, aku punya istri bukan anak orang kaya. Hahaha!” Kami pun segera ke Mesjid.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.