Minggu

BUKANKAH hari ini hari Minggu? Ya, ini hari Minggu. Dan lihatlah warga kota kita umumnya tengah menikmati hari libur dengan berbagai aktivitas seperti menikmati pamadangan pinggiran laut dari bawah rindang pohon-pohon cemara, berbelanja dengan keasyikan raun-raun pasar dan tawar-menawar di toko-toko pasar rempah, duduk ngopi sembari ngobrol sesama teman di warung-warung kopi pinggir alun-alun atau menunggu pancing disambar keurapee di sepanjang jembatan tepi kota.

Tapi bukankah hari ini hari Minggu? Ya, hari Minggu. Kenapa? Nah, itu dia, “Geumpa! Jak taplueng!”  jerit seorang perempuan.

Ho taplueng?” tanya temannya dengan wajah yang tiba-tiba pucat pasi.

Mereka dua ibu rumah tangga bertetangga yang tengah melihat-lihat perhiasan di salah satu toko emas di Jalan Perdagangan.

Pada saat yang sama pemilik toko emas itu berteriak-teriak pada anak buahnya, “Top mandum lemari! Top brankas! Jak tatubiet u lua!

Saat itu juga di seluruh sudut kota suasana seperti sedang chaos. Para pebelanja di Pusat Perbelanjaan Kota yang arsitektur pasarnya terdiri dari jajaran gedung batu pertokoan dua tingkat dan beratap, berlarian kalang-kabut di segenap los pasar menuju ke tempat-tempat terbuka.

Di jalan-jalan dalam kota, para pengguna jalan memacu kenderaannya dengan kecepatan lebih dari biasa menuju ke luar areal kota atau ke rumah masing-masing.

Begitu juga di Pasar Sayur, keramaian Pasar Grosir Ikan dan Pasar Unggas tiba-tiba senyap setelah para pengunjung meninggalkan lokasi ini dengan tergesa-gesa.

Apa yang terjadi? Minggu yang terik di bawah cuaca gerah sebuah kota pesisir, baru dalam hitungan belasan menit setelah azan Dzhuhur berkumandang dari beberapa mesjid dan meunasah dalam wilayah kota, tanah tempat kota berpijak menggeletar dalam skala richter yang menggetarkan.

“Tapi menurut perasaan saya, ini gempa bumi yang tergolong lumayan keras setelah gempa dan tsunami Minggu, 26 Desember 2004 lalu. Rumah saya terasa sekali goncangannya. Kami sekeluarga seketika menghambur ke luar. Begitu juga tetangga-tetangga kami,” kata seseorang.

Kemudian lanjut dia, “Rumah kami di sini umumnya rumah bantuan tsunami. Saat-saat seperti tengah gempa tadi kadang timbul juga keraguan kami terhadap kualitas rumah-rumah ini.”

Lanjut dia lagi, “Ah, kebiasaan di negeri kita ini kalau yang namanya barang atau bangunan gratis yang diperuntukkan untuk rakyat biasa, kualitasnya rendah, bukan?”

“Tapi, tunggu dulu,” sambung orang itu. “Bukankah hari ini hari Minggu?”

“Ya, ini hari Minggu, kenapa?” jawab temannya seraya balas bertanya.

“Seingat saya, selain gempa bumi Minggu pagi 26 Desember 2004 itu, beberapa kali gempa bumi setelahnya juga terjadi pada hari Minggu. Yaitu gempa Minggu 28 Agustus 2005, gempa Minggu 9 Mei 2010, gempa Minggu dinihari 13 Juni 2010 dan gempa Minggu-Minggu berikutnya. Begitu juga dengan gempa hari ini.”

“Kenapa gempa bumi yang terjadi di Nanggroe ini kerap terjadi pada hari Minggu? Ada apa dengan hari Minggu di Aceh?” jawab temannya lagi seraya bertanya.

“Entahlah. Tapi, tapi bukankah hari ini hari Minggu, ya kan? Ya, hari ini adalah hari Minggu. Dan gempa baru saja usai. Mari kita ke laut. Di pantai ramai sekali orang bersuka-ria. Dulu kita bersuka-ria di pantai pada hari Rabu, setahun sekali, yaitu Rabu Abeeh di bulan Safar. Tapi karena Rabu Abeeh sudah dilarang orang-orang bijak kita, sekarang orang bersuka-ria di pantai pada tiap hari Minggu, tiap hari Minggu.

“Itu lebih afdhal,” sambung temannya. “Karena kafir pun bersuka-ria di pantai pada hari Minggu. Nyang Rabu Abeeh ata indatu, bathat beu dari Hindu, hanjeuet. Nyang hari Minggu, karena ata kaphee peunjajah, jeut. Makanya tsunami Desember 2004 tak pernah datang pada hari Rabu, tapi dia justru menerjang kita pada hari Minggu. Minggu peunajoh gop, kon peunajoh geutanyoe, peu takarat tataluem. Hari Minggu memang membuat kita selalu jra-han-jra.”[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.