Jampok

FLP’s Quote of The Day, “Seekor burung hantu duduk di dahan. Semakin banyak ia melihat, semakin sedikit ia bicara. Semakin sedikit ia bicara, semakin banyak ia mendengar. Kenapa kita tidak bisa seperti burung hantu itu?” Ini bunyi sms yang masuk ke hape Jailani suatu kali, dari teman FLP Aceh. Lalu diteruskan pada saya.

Nama burung ini memang menakutkan. Kesannya seperti maop (hantu pura-pura orang Aceh untuk menakutkan anak-anak agar mematuhi orangtua). Lihatlah burung hantu saat malam, dua bola matanya tampak begitu ‘terpesona’. Mengerikan. Burung ini juga tak banyak bicara, seperti kutipan di atas. Dalam bahasa Aceh, burung hantu berarti “jampok”. Kalau Jailani, terkadang ia mengejek temannya yang bernama Burhan dengan memanggilnya “jampok”. Maksudnya, burhan adalah singkatan dari burung hantu.

Tapi bagi orang Aceh, kata “jampok”  amat populer dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang memuji diri baik benar adanya atau tidak, maka orang tersebut akan dipanggil jampok, atau dengan bersahaja dilengkingkan, “Put…. put…,” meniru bunyi burung hantu. Seperti suatu kali Jailani sedang ngobrol sama kawannya di warung. “Kalian lihat, rambutku seperti rambut Shah Rukh Khan. Bodyku layaknya Ade Rai. Hidungku kayak Nabila Syakib. Gaya main bolaku seperti David Beckham,” kata Jailani seraya mengangkat dagu.

“Tapi taikmu kayak taik lembu. Haha!”  sergah Isan, kawannya. “Put…. Pane jampok luho-luho uroe (burung hantu mana siang-siang hari), ejek Brahim, kawan Jailani dari Gampong Alahai. Jailani merah muka dibilang begitu. Memang benar adanya kalau Jailani itu orangnya kerempeng. Samasekali tidak seperti yang diibaratkannya.

Benarlah kalau burung hantu tak mungkin menampakkan diri pada siang hari. Sama halnya seseorang memuji diri sendiri dengan maksud menampakkan kelebihannya. Sok. Atau, seseorang itu memang tak punya sesuatu untuk dipuji, tapi ia memuji diri sendiri. Atau satu lagi, ketika sukses melakukan satu hal kecil saja, maka akan memuji diri. Peu-ek baho (Meninggikan bahu). Maka ungkapan “kah lagee jampok (Kamu seperti burung hantu)” akan selalu keluar dari mulut orang Aceh untuk melawan keangkuhan seseorang yang memuji diri. Apalagi di tempat keramaian, tak segan-segan ungkapan ini dilayangkan.

Di Aceh, “jampok” ini termasuk kategori penyakit (patologi) sosial yang bisa terjangkit pada siapa saja. Biasanya mulai dari anak-anak yang sudah masuk SD sampai kakek-nenek. Dari rakyat sampai pemimpin. Kita beharap, nantinya bila pemimpin (sedikit) sukses menjalankan program-programnya, jangan sampai peu-ek baho seperti jampok yang sedang duduk di dahan kala gulita malam.

Meski pada hakikatnya jampok tidak buruk, tapi ketika orang Aceh menggelarkan seseorang “kah lagee jampok”, ini berkonotasi negatif. Karena itu, “walau bagaimanapun, jadilah jampok yang semakin banyak ia melihat, semakin sedikit ia bicara. Semakin sedikit ia bicara, semakin banyak ia mendengar,” saran Jailani.

Kenapa kita tidak bisa seperti jampok itu? Melihat ketidakmampuan orang lain, lalu diam dan membantunya. Sedikiti bicara, banyak mendengar, plus banyak berbuat, tentunya pada kebaikan. Sekali lagi, “jangan jadikan diri Anda seperti jampok yang menyombongkan diri,” pesan Jailani.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.