ENTAH waktu lahir dulu Bang Din ada geupeusa-dua oleh ayah-ibunya dengan boh iteek jruek, entah memang karena ada suatu pengalaman paling mengesankan di masa kecil yang membuat lelaki muda kurus jangkung itu punya perhatian khusus terhadap telur asin.
Seperti sore kemarin, begitu pulang dari pasar habis menjumpai mitra-mitra bisnisnya di bidang properti, ia langsung buka suara di tengah-tengah kawan sekampung yang sedang santai di warung bandrek Kak Ni di tepi desa dekat sawah.
Kata Bang Din, “Sejumlah pedagang di pasar tradisional kita mengaku, kendati saat ini permintaan terhadap boh itek jruek meningkat, namun harganya masih tetap stabil, yaitu Rp1.700 per butir.”
Sementara di pasar modern, sambung Bang Din, harga telur itik yang sudah mengalami proses pengasinan itu memang sudah biasa seharga itu, yaitu Rp3.000 per butir.
Dan Dek Bit, remaja berstatus mahasiswa di salah satu universitas bergengsi yang sore itu jua tengah menikmati bandrek Kak Ni, menimpali kata-kata Bang Din dengan, “Tapi, Bang Din, menurut saya, terjadinya fariasi harga boh iteek jruek di pasar tradisional dan pasar swalayan itu disebabkan perbedaan status komunitas pembeli.”
Seterusnya Dek Bit berargumen, bahwa telur asin di pasar tradisional umumnya dibeli orang-orang kampung. Sedangkan telur asin di pasar kota seperti di mini-mini market dan pasar-pasar swalayan dibeli orang-orang yang sudah terlanjur terjerat kesemuan suatu pemahaman terhadap gaya hidup yang disebut prestis.
Mereka yang bisa berbahagia dengan kesemuan itu biasanya ibu-ibu pengusaha, ibu-ibu pejabat pemerintah dan bahkan ibu-ibu petugas dapur di rumah-rumah pejabat daerah.
Lanjut Dek Bit, “Di kalangan pedagang boh iteek jruek berlaku hukum pasar yang bunyinya kira-kira begini, status sosial orang boleh berbeda, tetapi yang mereka suka, apa? Boh Iteek Jruek. Nah, kami pun menjual boh iteek jruek dengan harga sesuai kalangan pembeli.”
Merasa diri terlalu pasif dalam pembahasan bertema telur asin yang padahal tadinya dia yang membuka mukaddimah, Bang Din segera menyambung pembahasan namun ia lebih mengarah ke haluan berkonotasi filosofis. Katanya, “Ada pun kebahagiaan hidup, dia adalah ibarat boh iteek jruek; berprotein dan disukai semua orang. Namun harganya tak sama untuk semua kalangan. Begitu, ya, kan?”
Sambung Bang Din, untuk kalangan tertentu, kebahagiaan dapat diperoleh dengan cara paling sederhana. Sementara buat yang lain harganya berlipat ganda hingga, buat mereka dengan profesi tertentu, malah berakibat pada pertaruhan keseimbangan ekonomi negara seperti kebahagiaan yang didapat dengan cara keliru pada para pejabat-pejabat negara.
Lantas karena merasa ditelikung teramat jauh dari tema awal, Kak Ni yang memang selalu asyik mengupingi percakapan-percakapan bernas pelanggannya yang umumnya terdiri dari orang-orang berwawasan luas di kampung itu, nyeletuk, “lho, lho, lho..! Ngawur, ngawur, ngawur..! Kok sudah main-main filsafat berat, tuh! Padahal masalah awalnya sederhana saja, cuma perkara boh iteek jruek.” Dan semua isi warung sontak pecah dalam tawa.
“Kata orang arif,” timpal Dek Bit, sang mahasiswa, “apa pun yang ada di dunia ini bahkan butir-butir pasir di laut sekalipun mengandung nilai-nilai filosofis, baik dalam eksistensi benda itu sendiri, maupun sebagai lambang perumpaan hasil kreativitas perspeksologis wawasan manusia, seperti romantika telur asin di pasar swalayan dan keude kecamatan.
“Beuh ka, beuh?” pungkas Dek Bit seraya berdiri hendak meninggalkan warung bandrek Kak Ni, dan lalu Dek Bit mengacung tangan dengan dua jari seperti lambang perdamaian ke arah Bang Din yang maksudnya, satu gelas bandrek dan dua kerat gorengan, tolong Bang Din bayar. Bang Din yang mendapat isyarat itu cuma mengangguk tanpa daya.[]