Tangga Rumah

Di Aceh, dalam satu dekade terakhir lebih mudah mendapat seorang istri daripada sebatang kayu. Namun Munazi tak menghiraukannya sama sekali anggapan yang tak diketahuinya itu. Ia terus mencari kayu untuk membangun tangga. Pasalnya, ayah Munazi sudah membangun sebuah rumah minggu lalu, tapi belum ada tangga, sehingga ayahnya tak bisa turun lagi dari rumah yang telah dibangunnya di pinggir hutan.

Sang ayah kini terancam mati kelaparan. “Mungkin hanya bertahan satu hari lagi,” gumam Munazi. Badannya mencari kayu, hatinya menginga-ngingat sang ayah.

Kini Munazi masih di rimba dekat Gampong Alahai. Ia mulai mencari pohon yang cocok untuk tangga dan mudah ditebang, bahkan tak takut ditangkap dengan tuduhan illegal logging. Ia sudah dua hari tak pulang ke rumah demi mendapatkan kayu. Sementara ini ia sudah memperoleh tiga batang. Kayu itu berdiameter sebesar betis orang dewasa dengan panjang 10 meter. Ia hanya butuh satu lagi.

Tak lama kemudian Munazi dapatkan kayu keempat. Dengan senang ia kembali ke rumah. Ia mendapati sang ayah sudah di bawah. Ia terpana. Heran. Dengan apa ayahnya turun. Padahal rumah mereka setinggi 100 meter, dengan tujuan tidak roboh dan hanyut ketika banjir datang.

“Tadi ayah dapat ide tiba-tiba. Karena sangat lapar mungkin, lalu ayah korek kulit pohon, ayah pilin-pilin lalu terbentuklah tambang (singkreut) setebal jempol. Kemudian ayah turun dengan tali ini seperti tukang panjat kelapa,” begitu terjemahan ucapan ayah Munazi yang menggunakan bahasa Aceh.

Si Munazi senang bercampur marah. Capek-capek ia cari kayu untuk bikin tangga rumahnya yang di pucuk pohon jati. Rumah mini berkonstruksikan pelepah dan daun rumbia. Rumah berkapasitas dua orang saja. Rumah untuk sepasang anggota rumah tangga yang miskin. Munazi dan ayahnya terpaksa tinggal di hutan karena diusir dari kampung; ayahnya mengidap penyakit menular yang tak diketahui namanya. Hingga beberapa minggu usai turun dari rumah, ayah Munazi meninggal. Dan ia hidup sendiri kemudian.

Je dan kawan-kawan mengusap airmata. Mereka baru saja mendengar sekelumit kisah hidup Munazi, teman mereka di waktu kecil yang sempat berpisah selama belasan tahun. Kini di usia ke-25, mereka bertemu. Munazi sudah berbeda sekarang. Ia sudah jadi toke kayu, sekaligus berbisnis di perabotan.

“Saya masih ingat. Seharusnya saya tak perlu capek-capek cari kayu, tapi cukup membuat singkreut saja,” kata Munazi. “Intinya, kita hanya perlu memahami situasi sambil berpikir untuk menghasilkan solusi menyelesaikan satu masalah dengan mudah dan praktis,” sambungnya, bijak.

Kita harus mencari sesuatu sesuai kebutuhan, “seperti rumah tangga kami dulu di pucuk pohon. Seharusnya kami tak perlu bikin tangga, sebab dengan singkreut atau tali saja sudah cukup untuk naik-turun.”[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.