Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya… Begadang boleh saja, kalau ada perlunya…
JAILANI CS menyanyikan lirik lagu “Begadang” karya Rhoma Irama di tepi jalan. Malam Minggu di Banda Aceh tak ada uang, bila orang mampu ke restoran atau bawa-bawa pasangan kekasih, maka Je dkk masih sebatas nongkrong di warung kopi.
Tak lama lagi mereka menyaksikan partai final sepak bola Liga Champions Eropa. Mereka sengaja datang lebih awal, jam 8, supaya kebagian tempat duduk. Selain itu, mereka juga bisa menyaksikan orang taruhan, meski diam-diam. Namun mereka tak mau mengikuti. Karena selain rugi, apalagi biaya kuliah dikirimi orangtua dari hasil banting tulang di kampung, tentu berdosa, juga malu jika sampai kalah. Ya, ada yang taruhan mobil dengan mobil, hape dengan hape, bahkan barter pacar. Macam-macamlah.
Sambilan menunggu dimulainya laga, mereka main internet ria. Tidak menyia-nyiakan wifi gratis yang disediakan pemilik warung. Plus kursi khas warung di Aceh, sandarannya rebah ke belakang. Kalau di kampung-kampung, kursi seperti ini cukup melalaikan penikmat kopi pancung dari pagi sampai petang.
Kini Je dkk main game online atau chattingan. Dan mereka lihat, yang main Poker lebih dominan, yang kemungkinan lahirnya perjudian. Ya… seperti menjual chip yang diperoleh dari bermain itu, lalu dijual, dan, dapat uang. 1 M chip samadengan 10 ribu jika dirupiahkan. Asek Wak! “Tentu generasi muda Aceh mau berlama-lama di depan layar laptop ketika malam,” jelas Jailani.
Lalu mereka pesan kopi pancung juga. Hemmmat. Sebab ketika laga dimulai nanti, pelayan kemungkinan akan menanyakan kali kedua. Terpaksa harus pesan lagi daripada tempat duduk berpindah jadi alas pantat orang lain.
Ada cara berbeda dilakukan Je dkk ketika mereka ingin sekali taruhan. Puisi, adalah taruhan mereka. Bagi yang kalah, harus mengirim puisi dan dimuat di salah satu media lokal dengan bertuliskan “kepada (nama si pemenang)” di bawah judulnya. Malam ini Je dan Ari mendukung klub yang berlawanan dengan Isan dan Brahim. Paling telat dimuat dua bulan setelah taruhan. Mereka setuju.
Bola dimulai. Pengunjung sudah sangat ramai. Berdesak-desakan. Ada tiga tivi lagi. Di belakang layar tancap, tengah dan depan tivi 20 inchi. Semuanya khusyuk menikmati bola sepak itu hingga usai dan sang juara mengangkat trofi. Tentu Je dan Ari girang sekali. Mereka menang. Nama mereka akan tercetak di koran tak lama lagi. Sedang Isan dan Brahim cemberut. Lalu mereka pulang.
Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya… Begadang boleh saja, kalau ada perlunya…
Je mendendangkannya pada daun telinga Brahim, mengejek. “Tapi, kenapa kita tak pernah salat Tahajud ya? Padahal nyaris tiap malam kita tidur jam 3 pagi,” gugat Ari. “Itulah,” sela Isan, “anak muda kita. Chip Wak..”
Kalau terlalu banyak begadang, Muka pucat karena darah berkurang, Kalau sering kena angin malam, Segala penyakit akan mudah datang, Darilah itu sayangi badan, Jangan begadang setiap malam…
Mereka pun pulang ke kos tak jauh dari warung, dengan berjalan kaki. Je dan Ari pun akan menuntut janji puisi tadi. “Nyan, jangan sampai Subuhnya lewat,” ingat Je pada kawan-kawannya.[]