Dulu sebelum tahun 2004, yang mempertautkan dua sisi aliran sungai kami hanya sebuah titi gantung. Tapi tsunami menghanyutkan sebuah kapal motor milik nelayan hingga boat tersebut tersangkut pada bagian bawah lantai titi dan membuat sepanjang lantai jembatan gantung ini menjadi miring.
Kondisi titi yang berlantai miring itu mengesankan sebagai sebuah titi gantung yang unik, dan itu bertahan hingga penghujung 2004. Baru pada 15 Agustus 2005 titi gantung itu dibongkar dan dimulailah pembangunan baru dengan jembatan rangka baja.
Meski pembangunan jembatan rangka baja itu belum selesai, tapi kesan mewah sebuah media penghubung transportasi di tengah areal pertambakan penduduk itu benar-benar terlihat.
“Namun kemewahan jembatan ini sesuai dengan fungsinya selama ini,” kata warga pemilik areal tambak yang terletak sekira lima puluh meter dari sisi-ujung jembatan.
Yang dimaksud lelaki petani tambak itu, sudah bertahun-tahun lalu hingga kini jembatan tersebut tiap hari ramai dikunjungi oleh warga dari berbagai daerah. Terutama dari pusat negeri, khususnya pada hari-hari libur.
“Mereka datang ke sini untung memancing. Kalau pada hari-hari biasa, ramainya hanya pada sore hari. Tapi kalau pada hari libur, sisi jembatan dan tepi sungai di seputar jembatan ini berjubel dengan para pemancing dari pagi hingga sore hari. Bahkan tiap malam di sini ada terus orang memancing. Ada yang pulang telat malam, ada juga yang memancing sampai pagi,” sambung warga itu yang merasa selalu nyaman menjaga ikan di tambaknya walaupun tengah malam karena suasana jembatan yang tak pernah sunyi dari pemancing.
Lanjut dia, “Pokoknya, insya Allah siapa yang datang memancing di jembatan ini, pulang tak akan kecewa. Sebagai sungai dalam kawasan kuala yang berair tenang dan dalam, di sini banyak terdapat ikan kerapu, kakap, seumilang, mirah mata dan berbagai ikan lainnya. Tokoh-tokoh politik dari Jakarta tiap sore memancing di jembatan ini.”
Di samping itu jembatan tersebut juga sangat vital sebagai jalur perekonomian kelautan di mana ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan di kawasan pesisir Nanggroe dengan mudah didistribusikan ke kawasan timur pulau tanpa harus menempuh jalan melingkar ratusan kilometer via rute yang umum dilalui.
Jadi intinya, sambung warga itu, walaupun titi gantung yang dulu itu kini sudah diganti dengan jembatan rangka baja yang besar, bukan berarti itu terlalu mewah untuk sebuah infrastruktur trasportasi penghubung yang letaknya cuma di tengah-tengah keheningan areal pertambakan penduduk.
Kemewahan itu sangat sesuai dengan fungsinya. Yaitu sebagai prasarana penghubung jalur transportasi perekonomian, dan sebagai tempat memancing yang inspiratif bagi kebanyakan tokoh politik dari Jakarta yang dalam argumentasi sang warga dikatakan sebagai, “Siapa yang datang memancing di jembatan Nanggroe, insya Allah, saat pulang ke Jakarta mereka tak akan kecewa.”
Lalu sambung warga itu lagi, “Para pejabat dari Mahkamah Konstintusi (MK) juga baru pulang dari memancing di jembatan ini. Mereka pulang ke Jakarta dengan membawa ikan-ikan kerapu yang sangat besar.”■