Aceh ‘Tengah’

Tak bermaksud membicarakan kabupaten Aceh Tengah. “Tapi,” kata Je, Aceh ‘Tengah’ di sini menamsilkan pada isi perut orang Aceh, seperti kata Pak Bus. Ini soal kebutuhan orang Aceh terhadap suatu organ tubuh yang letaknya di tengah. Kalau orang Aceh bilang, “eumpeuen takue,” yang digunakan barangkali untuk meredam bunyi glang (cacing) dalam perut, untuk mengusir cacing-caing yang mendendangkan lagu keroncongan dalam perut.

Soal Aceh ‘Tengah’ ini, orang Aceh tak main-main untuk memakmurkannya. “Meunyo kadeuek dum peue dipubuet nyak troe (Kalau sudah lapar apapun dilakukan supaya kenyang),” kata Pak Bus saat menguliahi Je dkk, kemarin. Tak ada nasi di rumah, minta pada tetangga. Karena malu selalu meminta-minta pada tetangga atau kerabat, maka turunlah ke jalan-jalan. Yang demikian, berubahlah ia menjadi pengemis atau peminta-peminta. Lalu berkeliaran di kota-kota, bahkan mulai 2011, pengemis mulai meminta-minta dari pintu ke pintu rumah warga.

Bagi yang malu turun ke jalan-jalan, ia akan mencari jalan lain yang lebih cepat. Mencuri dan merampok. “Kebanyakan pencuri dan perampok di Aceh melakukan aksinya karena masalah Aceh ‘Tengah’ itu,” kata Je pada kawan-kawan. Lebih-lebih jelang lebaran, akan banyak pencuri tertangkap polisi. Kemudian si pencuri beralasan, “saya mencuri untuk beli baju anak dan bedak istri.” Alah hai po talah.

Dari soal isi perut, bahkan bisa berdampak lahirnya konflik. “GAM kenapa memberontak pada RI? Bukankah karena Aceh tak puas. Hasil alam Aceh lebih banyak diambil Pemerintah Pusat. Makanya kita memberontak. Dan menurut saya, itu tak salah. Aceh ditindas saat itu, pantas kita melawan penindasan,” kata Je berapi-api. Itu dulu. Kini “katanya” sudah sedikit damai.

Atau contoh lain, permasalahan jelang Pemilukada Aceh 2011. “Persoalan independen,” kata Si Bram. Irwandi Yusuf menginginkan adanya jalur independen. Sementara pihak Partai Aceh (bentukan eks GAM) menolaknya. Bahkan, DPRA memutuskan tak memasukkan calon independen dalam Qanun Pilkada Aceh 2011 yang disahkan pada Selasa 28 Juni 2011 dalam sidang paripurna. “Ini pasti ada sangkut-pautnya dengan persoalan ‘Aceh Tengah’,” kata Je.

Selain memicu konflik fisik, keadaan perut kosong juga akan melahirkan konflik batin. Orang mudah “tinggi” ketika lapar. Orang lekas emosi kalau sedang kelaparan dan kecapaian. Keefektifan berpikir jadi berkurang. Juga hilang kontrol. Maka hati-hatilah menghadapi orang-orang yang sedang lapar. “Kalau tidak, kamu akan diterkam!” kata Isan yang baru datang dan duduk di kantin dan menghidangkan sekantong jambu air merah pada kawan-kawannya. Wesss. Segar. “Paih that suuem uroe lage nyoe (Pas sekali hari panas begini),” kata mereka.

Lalu, bagaimana cara mengurangi orang Aceh untuk tidak sering mengeluhkan perihal Aceh ‘Tengah’? “Tugas pemerintah,” jawab Si Him seketika. Ya, pemerintah harus menyejahterakan rakyat. Jangan asyik korupsi. “Hai, kalau ada orang di Pemerintahan Aceh yang korupsi, juga karena Aceh ‘Tengah’. Mereka itu Aceh ‘Tengah’ level tinggi. Barangkali hendak belikan rumah mewah. Atau beliin mobil untuk anaknya. Pasti,” sela Je. “Ya, benar.” Kalau begitu, tugas siapa? “Tugas kita bersama.”[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.