Kisah ini terjadi pada suatu hari yang panas walaupun angin meniup beringas. Maksum yang rupawan duduk santai di atas saung belakang rumahnya. Ia sedang merenungi diri, berpikir tentang pilihan hidupnya menjadi penulis. Di kampungnya yang jauh seperti ini, ia sama sekali tidak bisa melanjutkan pekerjaannya. Ia tak punya laptop dan di kampungnya tak ada seorang pun yang memiliki benda itu. Padahal, otaknya selalu saja dipenuhi ide-ide brilian yang mungkin jika dituangkan akan menjadi pengisi salah satu laman koran.
Namun Maksum menulisnya di buku catatan. Bila hendak mengetik dan mengirimkannya ke media, ia mesti ke ibukota kabupaten yang jauh tak alang kepalang. Yang membuat ia sedih sebenarnya adalah ketiadaan media itu, sehingga jika tak ada uang ia akan kesulitan menuang dan mengirimkan tulisannya. Komputer di ibukota kabupatennya pun sudah banyak yang rusak dan harga jasanya lumayan mahal. Dalam keadaan ia tidak memiliki pekerjaan tetap itu—sebab di kampung yang ada hanya kerja bangunan atau mengajar beruk memanjat kelapa—ia kesulitan mendapatkan uang.
Sebenarnya Maksum memiliki banyak uang di media. Telah banyak tulisannya yang belum diambil honornya. Namun, harga sebuah tulisan begitu murah dan pengurusan pengambilan honor demikian rumit. Ia berkali-kali mengirimkan tulisan ke media Nasional, namun belum juga beruntung. Padahal, jika karyanya dimuat di media Nasional itu, Maksum akan mendapatkan honor yang lumayan besar. Kadang kala ia berpikir bagaimana mungkin harga sebuah hasil pikir di media lokal begitu murah. Bukankah dunia banyak berubah karena tulisan?
Maka, dalam keadaan seperti demikian, timbullah malas padanya. Maksum saban hari hanya duduk di saung rumahnya sembari dari jauh menatap Sulaiman bermain-main dengan beruk kesayangannya. Lucu betul tingkah kawannya itu. Beruk berkulit gelap itu diberinya nama Suharto, seperti nama presiden kesukaannya. Suharto adalah presiden beruk di kampung itu. Dia hewan pertama yang diajarkan Sulaiman memanjat dulu. Suharto telah tua sekali, jalannya sudah tertatih-tatih. Di kepala binatang itu disematkan sebuah peci hitam tua dan dipakaikan baju batik pula. Persis seorang presiden. Pernah sekali kutanyakan padanya, apa perbedaan Suharto dengan presiden Indonesia. Dengan santai ia menjawab,”Suhartoku ini tidak suka merajuk dan kemudian memanggil wartawan agar kesedihanya diketahui banyak orang, Maksum.” Aku tertawa saja.
Pada lain kesempatan aku bertanya lagi padanya, apa bedanya Suharto dengan pemimpin-pemimpin sekarang. Dijawab oleh Sulaiman,”Suhartoku ini tidak korupsi dan tidak keras kepala. Tidak suka beruk cantik dan bohai. Dia ini telah lulus ilmu setia. Dia tidak punya mobil sebab tidak semua rakyat beruk memiliki mobil. Hahhahahaha” Aku ikut-ikutan tertawa.
Maksum tersenyum-senyum sendiri ketika mengenang kata-kata Sulaiman. Ia menjadi ingin sekali menulis tentang kawannya itu. Diambilnya pulpen dan mulai dituliskan di buku catatannya kata per kata. Ia ingin bergegas menyelesaikan tulisannya, jangan sampai nanti ia terlanjur menceritakan kisah Sulaiman di depan sejawatnya di kota. Takut ia akan ada yang mencuri idenya.