Kawan, banyak orang yang berpikir sejarah itu sama sekali tidak penting untuk terlalu dibanggakan. Benar rasanya, jika kita terlalu larut untuk masa lalu maka kita tidak akan bisa belajar atas kesalahan yang dilakukan orang terdahulu. Begitulah makna sejarah sebenarnya. Begitu pula dengan makna sejarah Aceh.
Beberapa hari lalu, bahkan dua-tiga tahun lalu aku sempat mendengar adanya kolektor benda-benda sejarah dari Aceh yang menjual barang purbakala nanggroe ini di pasar gelap. Tragis, ironis atau apa lah lakap yang pantas diberikan untuk orang tersebut, karena dengan menjual barang itu, menurutku, satu generasi aneuk nanggroe kita akan kehilangan sejarah mereka. Namun, anda tahu Tuan apa yang dikatakan oknum penjual barang perbukala tersebut? “Aku bisa mendapatkan lusinan barang-barang lain jika kalian perlu. Aku bisa menceritakan sejarah Aceh, lebih dari kalian tahu,” kilahnya, ketika kami menanyakan ikhtisar perbuatannya tersebut.
Dalam hati ku Tuan, entah dalam hati kalian, aku mengatakan jika sikap orang-orang yang paham mengenai sejarah saja menjual barang-barang itu demi memenuhi isi kantongnya saja, lalu sampai dimana ia bisa mempertanggung jawabkan sejarah yang hilang tersebut? Pada satu atau sepuluh orang saja? Pada satu atau sepuluh tahun saja? Bagaimana seterusnya? Apakah bukti-bukti sejarah itu akan hilang ditelan jaman oleh tindakan orang-orang seperti ini?
Entah apa yang ada dipikirannya tuan. Padahal, sekilas ku kenal ia orang yang bergaul dengan para petinggi negeri. Usianya memang masih berkepala dua atau mungkin baru memasuki kepala tiga. Entahlah tuan, aku bingung melihat tingkah dan congkaknya ia menyepelekan hal-hal yang sangat penting tersebut.
Kembali dalam hatiku tuan, mungkin yang dipikirkan oleh orang tersebut hanyalah bagaimana benda-benda, seperti guci, rencong, pedang, mata uang (koin), buku-buku termasuk kitab, kronik dan sebagainya, hanyalah di visualkan sebagai benda. Tidak lebih. Tidak ada nilai historis yang terpikir di benaknya.
Mungkin lagi tuan, ia tidak berfikir bagaimana nanti jika suatu saat benda-benda tersebut merupakan rekam jejak keberadaan tanah indatunya, atau sebagainya. Kemana lagi kita mencari? Jika yang membeli itu, menyimpan benda-benda sejarah tersebut untuk dinikmati publik, sah-sah saja. Artinya benda sejarah itu jatuh ke tangan orang bertanggung jawab. Lalu bagaimana kalau benda itu dibeli di pasar gelap, hanya untuk digantung, dipajang, disimpan dalam lemari, ruang kerja dan kamar pribadi sang pembeli? Kemana orang-orang yang memerlukan bukti-bukti sejarah itu akan mencari?
Lebih parahnya lagi tuan, ia bahkan mengaku hasil penjualannya tersebut bahkan dibeli oleh orang-orang luar negeri. Entah bagaimana caranya ia menjual. Pastinya, pihak pabean saja bisa dikelabui. Padahal menurut pemahaman saya selaku orang awam, nilai-nilai sejarah sebuah benda akan hilang apabila; digeser, di oleskan dengan zat kimia, dibiarkan dalam cuaca yang tidak menantu atau diabaikan begitu saja.
Peuhan sejarah Aceh sangat minim pencatatannya saat ini dibandingkan sejarah-sejarah lain diluar nanggroe kita. Jika penyakit-penyakit seperti oknum tersebut dibiarkan, maka suatu hari nanti bisa jadi semua benda sejarah yang tidak bisa “dirangkul” dan diperhatikan secara hukum oleh pihak pemerintah akan hilang ditelan bumi. Ia (benda sejarah) hanya akan diketahui oleh orang-orang yang bermain di pasar gelap, pemburu harta karun dan kolektor-kolektor yang memuaskan nafsu pribadinya. Bagaimana dengan generasi muda Aceh? Bukankah itu warisan dari indatu mereka juga?
Bagaimana tanggapan anda tuan? Bagaimana tanggapan anda para pihak yang bertanggung jawab terhadap sejarah Aceh ini? Bagaimana pula tanggapan kita selaku masyarakat kecil? Apatis saja kah atau kita peduli pada warisan nenek moyang tersebut? Lalu bagaimana dengan hukum di nanggroe ini, sudah diaturkah dalam Undang-undang yang berlaku? Jika sudah, kenapa tidak ada sanksi tegas dan kerja keras dari para penegak hukum akan kasus-kasus menghilangkan jejak sejarah nanggroe kami?[]