NAMAsaya Abu Rimba. Orang memanggil saya Abu. Usia saya 70 tahun. Lima belas tahun dari sejumlah itu telah ditelan lembah damai kaki gunung ini sebagai peladang tanaman palawija seperti cabai, terong, kacang panjang dan pisang. Apakah tanaman-tanaman itu telah membuat saya berkehidupan makmur hingga mampu bertahan di sebuah lembah selama lebih satu dasawarsa?
Saya tidak pernah menghitung itu. Keuntungan dari sejumlah umur yang tumpah di lembah ini sebagai petani, tak pernah saya tinjau dari sudut angka-angka berbasis hitungan bisnis. Rugi pun sepertinya tak terasa. Itu karena hidup saya tanpa beban kalkulasi. Saya pikir seusia saya, itu tak bermakna lagi. Apalagi tinggal di dunia lembah yang jauh dari kompetisi kehidupan sehari-hari.
Dua anak saya, laki-laki, sudah kawin dan hidup mandiri. Rumah mereka di balik bukit itu. Dan di sini, hidup berdua dengan istri, tampaknya tidak membuat kami ketergantungan pada prinsip laba dari setiap bercocoktanam mengolah tanah subur lembah ini. Ternyata sikap begini membuat tanah kaki gunung ini bagai sengaja membuktikan jaminan selama lima belas tahun kehidupan.
Kedamaian jiwa dan ketenangan hati kiranya telah membuat saya bertahan di sini. Ditambah letak tempat tinggal kami yang hanya terpaut dua ratus meter dengan jalan raya antar dua kota propinsi yang siang malam memecah kesunyian dengan berbagai kendaraan yang lalu-lalang di atasnya, juga dua kios penjual berbagai barang kebutuhan sehari-hari yang sekaligus juga sebagai warung kopi yang letaknya juga di tepi jalan itu yang tak seberapa jauh dari jambo kami, membuat kawasan ini tak sehening lembah pada umumnya sehingga saya dan isteri tak pernah merasa bagai manusia terbuang di sudut alienasi di samping juga dua anak lelaki kami berserta anak-anak mereka cucu-cucu kami itu datang menjenguk sekali-sekali.
Tetapi berlaksa anugerah kedamaian itu kini sontak teracuni oleh bayang-bayang tragedi yang mungkin akan menimpa kami dan orang-orang di selingkungan ini. Semua itu akibat pengaruh tragedi banjir bandang yang menimpa saudara kami di Tangse, Kamis (11/3) malam yang menimbulkan korban kematian, hilang dan kehancuran harta-benda serta pengungsian berkampung-kampung warga. Pasalnya, dikabarkan bahwa menurut Gubernur kita Abu Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur kita Nyak Muhammad Nazar, banjir bandang yang melanda Tangse akibat maraknya praktik illegal logging dan pembukaan lahan baru di kawasan tersebut selama dua tahun belakangan ini.
Dan yang lebih serbasalahnya saya beserta isteri adalah, gunung Seulawah Inong dan gunung Seulawah Agam yang menaungi kami di lembah ini juga termasuk salah satu kawasan terparah dengan praktik illegal logging. Masalahnya dua dari sekian pelogging illegal itu adalah dua anak lelaki kami tersebut. Di samping pembalak, mereka berdua juga menebang pohon-pohon Seulawah Inong dan Seulawah Agam untuk membuka lahan-lahan perladangan baru dan lahan-lahan itu untuk dijual kepada orang-orang kota yang kebanyakan pejabat-pejabat dari kantor pemerintahan kita bahkan para petinggi di rektorat universitas kita dan institut agama kita sebagai dua lembaga pencipta manusia-manusia idealisme pelindung rakyat kecil dan pelindung hutan Nanggroe.
Jadi tolonglah bagaimana kami mencari solusi terhadap hal ini. Kalau hutan Seulawah Inong dan Seulawah Agam terus dibabat untuk menghasilkan kayu-kayu berumur tua bermutu tinggi, maka lembah ini esok-lusa pasti akan diterjang banjir bandang juga.
Tapi setahu saya langit-langit ruang tamu rumah para pejabat teras di pemerintahan kita terbuat dari kayu-kayu berukir indah yang bahan bakunya dipesan dari dua anak lelaki saya oleh para agen kayu.
Jadi tolonglah bagaimana kami mencari solusi terhadap hal ini. Kalau hutan Seulawah Inong dan Seulawah Agam terus dibabat untuk menghasilkan kebun-kebun besar bertanah subur-gembur, maka lembah ini esok-lusa pasti akan diterjang banjir bandang juga.
Tapi setahu saya sertifikat-sertifikat tanah dengan jumlah-jumlah keluasan yang nyaris tak bisa dipercaya yang diterbitkan akhir-akhir ini rata-rata atas nama para pejabat teras di segala dinas pemerintahan kita atau atas nama anak-anak atau isteri-isteri mereka di mana tanah-tanah itu dipesan dari dua anak lelaki saya oleh para agen tanah dan konco-konconya.
Jadi bagaimana ini. Dua anak lelaki saya itu sebenarnya ingin segera berhenti sebagai penebang hutan. Tapi pesanan kayu-kayu bermutu tinggi datang terus dari para kaki tangan pejabat-pejabat kaya di kota.
Dua anak lelaki saya itu sebenarnya, demi menghidupi anak dan isteri mereka ingin segera berhenti jadi pembuka lahan-lahan perladangan baru dan berinisiatif untuk menggeluti jenis matapencaharian lain yang legal dan tidak merugikan orang ramai dengan menjadi penyebab timbulnya musibah alam banjir bandang. Tapi pesanan lahan-lahan baru dengan tawaran harga menggiurkan dari para kaki tangan pejabat-pejabat teras di kota, mendering terus di Nokia 3315-nya.[]