Kata kawanku, rokok itu simbol kejantanan seorang lelaki. Kawan yang satu lagi malah lebih nyentrik, rokok itu lifestyle atau bagian dari gaya hidup, katanya. Tapi tidak bagiku, menurut aku rokok bukan sekadar untuk itu, tapi kebutuhan hidup.
Dengan merokok, syarafku seolah bekerja dengan baik dan membantu aku bekerja menafkahi anak-istri. Rokok merek apa saja tak masalah bagiku, yang penting ada asap yang masuk ke tenggorokan dan paru-paru. Begitulah adab merokok yang kupahami.
Jika kantong lagi buncit, tentu saja aku lebih senang rokok dengan merek ternama. Setidaknya, aku tak segan-segan membantingnya di meja saat berkumpul bareng kaumku atau kerabat tempat aku bekerja. Bila kantong lagi menjerit, rokok merek apa saja bukan soal bagiku. Jangankan rokok pabrikan, bakong asoe milik Yahwa tetangga pun kulantak saja.
Satu hal yang membuatku benci, tapi tetap di hati sama rokok. Itu tak lain adalah repetan yang tak berujung istriku. Kecuali segera lepas landas dari rumah. Berbagai teori ekonomi hingga kesehatan dijabarkannya saat liat aku sedang dengan rokok.
“Satu bungkus rokok itu Rp11.000, coba kalikan dua, berapa uang jatah anak-anak yang ayah habiskan dalam sehari,” kata istriku sambil melirik ke arah dua anakku. Yang satu sedang bermain pesawat dan yang baru lahir terlelap di ranjang mungil.
Aku sih bukanlah tipe suami takut istri seperti si Paisal tukang sedot tinja itu. Dan istriku pun tak sampai mematah-matahi semua rokok seperti istri Paisal lakukan. Bahkan Paisal bilang padaku kalau habis dinas ia bisa menghabiskan separuh odol yang selalu dia sediakan di kamar mandi kantornya. “Habis, istriku kerap ngecek nafasku saat daun pintu rumah kami terbuka,” jelas Paisal padaku sambil malu-malu.
Sekali lagi aku tak seperti si Paisal kawan, tapi aku tak mau saja berpanjang urusan dengannya. Takut anak-anak pada pandai bahasa inggreh. Karena kalau lagi curien, bahasa inggreh pesisirku luar biasa berbahaya bagi psikologi anak-anak.
“Lihat anak-anak dan aku, tiap saat menghirup udara buruk tembakau yang keluar dari mulut ayah, lama-lama kami bisa penyakitan. Bukankah perokok pasif itu lebih beresiko dari perokok aktif?” Lihatlah kawan, dia mulai sembarangan saja merendahkan teman setiaku yang satu ini. Ingin rasanya aku ke pasar dan kembali dengan sebungkus coklat silver queen yang panjangnya satu depa untuk menambal mulutnya.
Jika kondisinya sedang begitu, itu yang membuatku stres bukan kepalang tanggung. Di satu sisi, telingaku dan otakku sudah hampir meleleh rasanya mendengar orasi istriku khusus mengenai bab rokok, untung tak ada toa di rumah kami. Di sisi lain tentu saja aku tak bisa lepas dari rokok yang membuat aku bisa melakukan berbagai aktivitas sehari-hari dengan lancar. Aku bisa jauh lebih stres tanpa rokok kawan!
Begini kawan, tanpa rokok rasanya aku tak bisa menggerakkan pikiranku. Bahkan keseimbangan otakku kacau kalau dalam sejam tenggorokanku tak dilalui asap rokok minimal dua batang. Dapat dipastikan pekerjaanku bakal berantakan dan suara bosku yang juga orang pesisir itu dapat dipastikan mencabik-cabik gendang telingaku.
Sebagai seorang suami dan ayah tentu saja aku harus bijaksana. Akhirnya aku pilih berhenti merokok, minimal demi keuangan keluarga dan kesehatan anak-anak. Mungkin inilah prestasi terbaik dalam hidupku, bisa berhenti merokok.
Baiklah kawan, terang fajar esok, engkau akan mendapatkanku dalam keadaan bebas rokok. Hitung-hitung mendukung program pemerintah yang mencanangkan kota kita besas asap rokok.
Untung dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Gara stres mikirin cara meninggalkan kebiasaan merokok. Bukan malah berhenti, tanpa sadar aku malah bisa menghabiskan tiga bungkus rokok dalam sehari kawan. Itu belum termasuk rokok jatah pergaulan yang rata-rata satu bungkus sehari.
Kalau dulunya istriku protes dengan tensi yang lumayan. Bayangkan kawan kalau dia tahu kondisi ini, mungkin saja dia bakal protes sambil jungkir balik. Entahlah kawan, yang jelas di rumahku tak ada koran ini hari ini. Kalau dia sempat baca ini, perang dunialah yang berlaku.
Kini secara sepihak dan sangat bijaksana, minimal menurutku. Aku akan tetap merokok, Tapi aku tak pakai uang gajiku yang kini sudah diklaim secara sepihak oleh orang rumah sebagai milik mereka dan tanpa boleh diganggu gugat.
Aku akan mencari sumber lain untuk tetap bisa menyuplai asap ke paru-paruku. Sementara untuk kesehatan anak-anak, aku tak akan lagi merokok di dalam rumah atau saat luang bersama anak-anak. Bukankah itu sangat bijaksana kawan?
Aku akan tetap merokok hingga akhir hayat dikandung badan, karena bagiku rokok itu bukan sekedar kebutuhan, tapi lebih jauh dari itu. Pokoknya dialah anak mudanya![]
Padahal perokok itu adalah paling toleran, kan tidak pernah ada kejadian perokok menceramahi orang yang tidak merokok untuk merokok. (minimal jatah hanya untuk dipakai sendiri)… Hihihihi…